|
Adalah kenyataan yang jamak diketahui
bahwa suku di Aceh sangat beragam, namun dalam hal berbahasa dan ekspresi
bahasa, di Aceh sendiri keberagamannnya melebihi jumlah suku yang ada. Anda
mungkin menganggap bahwa bahasa yang digunakan masyarakat di pesisir mulai dari
Aceh Bagian Timur sampai dengan Aceh Bagian Selatan adalah sama, tetapi
sesungguhnya terdapat sedikit disana-sini, perbedaan yang sedikit ini sungguh
menyadarkan kita bahwa dalam berbahasa masyarakat Aceh sangat beragam.
Konon
bagi masyarakat Aceh Bagian Timur sampai ke Pidie, di Aceh Utara terdapat satu
kecamatan yang sangat halus penggunaan bahasanya yaitu di kecamatan Matang
Kuli, halus dalam pengertian sangat bersahaja dan sopan serta lemah lembut.
Nah, dikawasan ini saja bahasa dan ekspresi bahasanya sudah beragam. Di Kuala
Simpang sendiri masih eksis bahasa Melayu.
Jika kita bandingkan pengucapan “r” oleh
masyarakat Aceh di belahan pesisir timur dengan
masyarakat di belahan pesisir Barat-Selatan maka juga terdapat
perbedaaan yang sangat mencolok, masyarakat pesisir timur mengucapkan huruf “r”
seperti kebayakan huruf “r” dalam bahasa indonesia “r” nya dibunyikan di ujung
lidah, tetapi masyarakat pesisir Barat-Selatan kebanyakan mengucapkan “r”
seperti orang melayu, “r” nya dibunyikan di tenggorokan. Begitu juga dengan
sebagian masyarakat Aceh Besar, membunyikan “r” di tenggorokan, namun lebih
tegas, mereka juga sering mengekspresi pembicaraan terdengar seperti terkulum,
dan biasanya akhiran “a” dalam bahasa Aceh seperti “dua” sering diucapkan ada
huruf “e” sehingga “dua” di ucapkan “due”. Saya katakan diawal bahwa ini
sebagian masyarakat di Aceh Besar, jarang sekali kita jumpai orang berucap
seperti itu jika kita ke Montasik, Indrapuri, dan seterusnya. Namun kita jumpai
jika kita ke Lhok Nga, Leupung dan sekitarnya. Mana yang paling benar dalam
berbahasa Aceh? Jawabannya: Tidak ada yang benar. Kita perlu berbangga dengan
keberagaman ini.
Kalau anda bertanya kepada orang Biruen
hati-hati, sebab biasanya diawal jawaban mereka sudah menyuruh anda untuk
menghitung, orang Bireun sangat sering menjawab suatu pertanyaan dengan kata “
neu kira aju...”. Juga sangat sering mengatakan sekelompok dengan kata
“peurte”, kata “peurte” dalam bahasa Indonesia lebih kurang artinya
“partai”.
Kalau anda ke Ulee Kareng untuk menikmati
kopi, maka saya sarankan anda jangan minum kopi di Simpang Tujuh Ulee Kareng
yang sangat melegenda itu, tapi nikmatilah suguhan kopi di warung kopi yang
agak ke pinggir atau lebih kedalam kampung, ini bukan karena kopinya lebih
nikmat, tapi kita menjumpai guyonan-guyonan khas Aceh Besar. Biasanya, bukan
tentang politik tetapi tentang keseharian, Di Aceh Besar, orang yang sudah tua
(berumur) bersenda gurau (tepatnya mengguyon) anak muda adalah hal biasa,
tetapi hal-hal seperti ini sangat jarang kita jumpai di Aceh Barat-Selatan,
hubungan orang tua dengan anak muda sedikit agak kaku.
Ke Aceh Barat datanglah anda ke sekitar
Kecamatan Peureumbeu, biasanya disini akhiran “e” atau “ee” seperti “si ribee
(seribu)” di ujungnya diucap dengan “ey”, jadi “si ribee” di ucap “si ribey”.
Jika kita ke Aceh Barat Daya dan ke
Kecamatan Susoh anda menjumpai Bahasa Padang, bahasa ini biasa disebut bahasa
“jamee”, bukan hanya di Susoh tetapi sebagian masyarakat di Kecamatan Manggeng
juga ada yang menggunakan bahasa “aneuk jamee” tersebut namun kalau di Susoh
ucapan “r” nya seperti dalam bahasa Indonesia maka “r” diucapkan orang Manggeng
“r” di kerongkongan seperti kebanyakan “r” diucapkan masyarakat di Barat
Selatan. Di Aceh Barat Daya meskipun ada orang yang tidak bisa berbicara dalam
bahasa aneuk jamee, tetapi semua orang mengerti apa yang diucapkan dalam bahasa
aneuk jamee, begitu juga sebaliknya. Begitu juga bahasa Aceh yang digunakan di
kecamatan Manggeng, tuturannya ada sedikit perbedaan dengan kecamatan-kecamatan
lain di Aceh Barat Daya, kalau dibandingakan orang di kecamatan Manggeng dengan
kecamatan lain di Aceh Barat Daya dalam berbahasa Aceh maka bahasa yang
digunakan orang di kecamatan Manggeng agak unik, ada penekanan-penekanan dalam
mengucapkan kata-kata tertentu. Bahasa Gayo juga digunakan sebagian masyarakat
di dalam kecamatan Babahrot khusunya di dusun Lhok Gayo.
Kalau anda mendengar pembicaraan bahasa
Aceh yang menyelipkan kalimat ‘o ‘o doh” maka bisa kita pastikan bahwa orang
tersebut berasal dari Aceh Selatan, sebab di daerah lain tidak ada yang berucap
dengan kata “‘o ‘o doh” dengan irama yang khas, kalimat ini banyak sekali
ditemukan di Kluet sampai ke Trumon. Bahasa aneuk jamee terutama digunakan oleh
orang di tiga kecamatan, yaitu Tapaktuan, Samadua dan Labuhanhaji tapi hampir
semua orang Aceh Selatan memahami bahasa tersebut, di Singkil juga terdapat
bahasa aneuk jame, yang ucapannya mirip seperti bahasa aneuk jame di Manggeng.
Di Kluet sendiri terdapat bahasa Kluet yang hampir mirip dengan bahasa Gayo.
Kalau anda ke Pulau Simeulu untuk berwisata
dan makan ikan enak maka anda akan
mendapatkan percampuran budaya dalam berbahasa yang sangat unik, ada yang
menggunakan bahasa Aceh, bahasa Simeulu sendiri dan bahasa aneuk Jamee,
percampuran budaya dalam masyarakatnya seindah alam yang mereka punya.
Orang manakah yang paling benar dalam
berbahasa Aceh? Yang manakah bahasa Aceh? Menurut saya tidak seharusnya untuk
belajar bahasa Aceh semua orang Aceh harus ke Matangkuli. Lalu kita harus
percaya bahwa semua bahasa yang disebutkan diatas eksis di tengah-tengah
masyarakat kita, itulah bahasa Aceh. Sekali lagi Inilah Aceh, yang keragaman
budaya melebihi sukunya. Kita harus bangga dengan keberagaman ini. Sangat tidak
mungkin menyeragamkan Aceh, walaupun dengan bendera sekalipun.