Itulah untaian bahasa yang tepat
disugukan untuk masyarakat aceh saat ini, kata-kata atau bahasa terkadang bisa
disulap menjadi sebuah “senjata” guna menyerang, bertahan dan menjadi modal
dalam setiap aksi dan ilusi kehidupan, terkadang kita sering terhipnotis dan terbuai
dengan uangkapan, janji-janji manis yang kerap meninabobokan setiap idividu.
Penjelmaan kata-kata, janji
menjadi “senjata” tidak hanya terjadi di tataran para elit saja, tetapi sudah
menusuk naluri masyarakat pada umumnya, sebutsaja misalnya Kabupaten Aceh Barat
Daya yang berjulukan Nagari Breuh Sigupai
yang terkenal aroma padi khas aceh benama sigupai yang kini hanya tinggal nama,
icon yang sudah lama tengelam itu belum terlihat tumbuh kembali dan belum
terlihat ada upaya dari pemerintah daerah
untuk membudidayakan padi sigupai sebagi icon daerah ini.
BREUH SIGUPAI salah satu icon
Aceh Barat Daya kini tidak berbentuk layaknya butiran padi seperti kita ketahui
bersama, akan tetapi kemasannya sudah dibungkus menjadi bungkusan politik
kemudian disulap menjadi kata-kata, ucapan, untuk dijadikan batu loncatan
menuju sebuah kepentingan politik,dan kerap menghiasi kolom-kolom rubric media
lokal di Aceh Barat Daya dengan SEBUTAN “ TAPUWOE MARWAH ABDYA”.
Zulfahmizar (25) Salah seorang
Mahasiswa Aceh Barat Daya yang kuliyah diSekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah
Muhammadiyah (STIT-MU) Aceh Barat Daya, Minggu (8/4) yang di jumpai di sela –sela
kesibukannya sebagai aktivis kampus, saat ditanyai tentang icon aceh barat
daya, dirinya menjawab salah satunya adalah BREUH SIGUPAI, menjadi icon aceh barat daya, dan ini cukup hangat
dibicarakan oleh lapisan elit dan petani pada umumnya. Yang anehnya menurut
Aktivis IMM Abdya itu hingga kini saya belum melihat bagaimana seyokyanya padi
sigeupau itu, dan dirinya mengaku hanya mendengar dalam orasi politik dan
membaca dimedia saja, tetapi belum pernah, melihat apalagi mengengam padi breuh
sigupai seperti yang dibicarakan banyak kalangan di Abdya.
Tentu menjadi sebuah tanda Tanya di
mana dimana kaitannya antara judul degan penjelasan zulpahmizar tersebut?? Tanangg….he..he..
tentunya ada kaitannya, tidak jarang kita temukan bahwa setiap kontestan
politik dalam pesta demokrasi pemilukada tahun lalu, sering mengumbar janji janji manis
sebagai senjata untuk memperdaya masyarakat, guna memperoleh suara dan sipatik
dari masyarakat, hal ini tentu bukan satu-satunya trik tetapi ini juga bisa
mempengaruhi dan mengiring opini masyarakat dalam penentua suara.
Berjanji tidak begitu susah untuk
di ucapkan tetapi tidak begit gampang untuk dipenuhi, mengingkari janji tidak hanya menuai sejuta kata-kata pahit
tetapi menuai segudang dosa, ini berlaku bagi yang suka “bernyanyi” eh
berjanji, janji merupakan sebuah kewajiban yang harus di penuhi, jika tidak
akan menjadi bom waktu dan harus dibayar dengan dengan waktu dan hargadiri,
jika sudah melekat stempel “ingkar janji” jangan berharap kepercayaan timbul
kembali.
Ditempat terpisah Bukari Salah
seorang warga desa Alue Sungai Pinang yang berpropesi sebagai petani
menyebutkan, dulu ia kita terkenal dengan breuh sigupai, tapi sekarang apa yang
perlu kita banggakan lagi itu hanya sebagi kenangan dan nostalgia yang tidak
untuk dikenang lagi, sebab hanya nanti akan berujung pada kekecewaan, Bapak
dari 4 orang anak ini lebih lanjut menjelaskan, anak –anak saya sudah besar,
dan selama ini kami hidup bukan mencicipi mencicikpi breuh sigupay tetapi dari
pada ekspor. Terkait dengan adanya pogram pemerintah dirinya mengatakan, itu
kan kiasan – kiasan saja untuk menentramkan hati petani, kita saat ini bukan
butuh janji dan teori, tetapi kenyataan, jelas bukari dengan jengkel. Terakir dirinya
mengatakan kita juga berharap kepada pemerintah untuk memikirkan nasip petani,
sebab selam ini kita belum merasakan adanya buah tangan pemerintah sekarang,
seperti pupuk dan bibit padi gratis, saat ini itu yang kami butuhkan, buka yang
lain-lain. Harap bukari.
Sampaikapan masyarakat harus berharap pada
pemerintah, sampaikapan janji-janji politik itu bisa direalisasikan untuk
masyarakatnya, kita berharap pemerintah lebih mengutamakan selera masyarakat
apa kebutuhan masyarakat, bukan sebaliknya menciptakan isu-isu yang pada
akhirnya merugikan masyarakat itu sendiri. Hingga tulisan ini diturunkan pihak
pemerintah dalam hal ini dinas pertanian dikonpirmasi. (JUL)