Desah rintik
hujan beserrta angin mendayu-dayu memangggil jiwa yang masih terlelap dengan
mimpi-mimpi, sembari menuntun tangan guna menyibak selimut yang masih membalut
tubuh. Dingin yang serasa menusuk tulang pun menjadi musuh besar dalam
perjalanan menghadap Dzat Yang Maha Besar di sepertiga malam ini. Banya yang
inginia ceritakan kepada Sang empunya jiwa. Sedikit demi sedikit, tangan mulai
mengusap kedua mata, selimut mulai lepas dari tubuh. Kaki mulai melangkah
menuju tempat wudhu, tempat dimana perjalanan menuju-Nya dimulai. Wajah yang
kusam mulai segar oleh tetesa-tetesan air.
Sarung berwarna
kecoklatan, membalut sebagian tubuh. T-Shirt berwarna putih dan merah pada
lengan menutup sisa tubuhnya. Peci berwarna putih bak mahkota menuutup
kepalanya. Kedua tangan pun mulai terangkat hingga tepat berada di sisi telinga
dan berlabuh di antara pusar dan dada. Lantunan ayat-ayat suci keluar dari
mulutnya mengiringi pertemunnya dengan Sang Pengatur kehidupan. Salam menjadi penutup
pertemuan resmi ini.
Tangannya mulai
meraih mushaf yang menjadi warisan Sang Nabi, mushaf yang ia yakini tidak akan
pernah tersesat selagi ia mengikuti petunjuk di dalamnya. Ia membukanya dengan
acak, di dapatnya surah Thaha, dicarinya tanda ‘ain yang berada disisi mushaf
tersebut, dari sanalah dia memulai membaca ayat demi ayat. Tepat di akhir surah
ia menyudahi bacaanya dengan membenarkan segala Firman-Nya.
Tubuh
ditegakkanya sembari menadahkan tangan sebagai tanda pengharapan
cerita-ceritanyya di dengarkan oleh Sang Maha Mendengar untuk diberikan jalan
keluar yang terbaik, karena ia sadar betul, rencana yang menurut ia baik, lebih
baik lagi rencana yang sudah di gariskan Allah untuknya.
Puji-puijan
kepada Allah dilanjutkan dengan shalawat kepada Nabi yang membawa agama
keselamatan keapda ummat-Nya, mengawali curahan hatinya dini hari ini.
Pengakuan akan kelemahan dirinya dihadapan kekuatan Allah, kecilnya dirinya
didepan-Nya. Kekotoran yang membalut tubuhnya jauh dari kata suci membuat air
matanya jatuh. Hanya Allah yang bisa menguatkan ia ditengah kelemahannya,
menyukian ia dengan ampunan-Nya.
Gundah yang
akhir-akhir ini menggelayuti pikiran dan hatinya mulai diutarakannya. Tentang
masa depanya menuntut ilmu di sebuah Perguruan Islam Negeri. Tentang statusnya
sebagai mahasiswa yang sudah di ujung tanduk. Ia sudah berusaha menepis semua
desas-desus yang terdengar di telinganya. Namun hatinya ternyata tak bisa
berbohong bahwa ia juga “termakan” oleh isu yang beredar. Kakinya terhenti,
bingung, tanpa tau kemana lagi ia akan melangkah. Asa yang sempat menyala dalam
jiwanya kini redup. Orang yang selama ini, membantu membentengi nyala api
semangatnya pun ikut menjauh tanpa sebab, mungkin ia telah letih memegang lilin
itu. Sekarang, yang tersisa hanyalah beberapa batang korek api, yang lambat
laun juga akan habis.
Kelemahan dan
kekerdilan dirinya membuat ia tidak bisa berbuat banyak dengan semua masalah
yang kini dihadapinya. Di dalam hatinya masih tersimpan satu keyakinan “Badai
Pasti Berlalu”, namun yang masih ia ragukan adalah masih bisakah tubuhnnya
berdiri tegak ketika badai sudah berlalu, sanggupkah jiwanya mencari
serpihan-serpihan semangatnya yang tercecer oleh dahsyatnya badai.
Di penghujung
doa-nya ia berharap pancaran cahaya Ilahi tak akan pernah pergi guna
menemaninya, mengiringi perjalanan yang panjang, dan bahkan cahaya-Nya tetap
menerangi ketika tubuhnya diapit oleh tanah. Ketika dua orang nmalaikat
memborbardir dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan dan pertanggung jawaban atas
segala perbuatanya.
Sebelum ia
menutup curahan hatinya, terdengar lirih doa yang ia panjatkan untuk orang yang
pernah mau menopang, serta ikut larut dalam rona warna kehidupannya. “Semoga ia
tetap berada dibawah naungan kasih
sayang Allah swt. “