PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai umat Islam, kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan
anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk memiliki sifat itu adalah: (1)
Kita adalah pemilik risalah ‘alamiyah (global) yang datang untuk seluruh
manusia di seluruh penjuru dunia. Benar bahwa Kitab suci kita berbahasa Arab,
Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur (Arab). Tetapi ini
bukan berarti bahwa Islam ditujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan
untuk segenap penduduk bumi.
Agama masehi sendiri tumbuh di dunia Timur, lalu tersebar di penjuru dunia.
(2) Jalan untuk menuju saling pengertian dan berdekatan cukup banyak. (Salah
satunya adalah ta’aruf). Jadi ta’aruf –bukan saling bermusuhan- merupakan
kewajiban semua penduduk bumi. Kita tidak sependapat dengan seorang sastrawan
Barat yang mengatakan, ‘Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat. Keduanya
tidak mungkin bertemu.’ Keduanya justru bisa bertemu, dan bahkan wajib untuk
bertemu bila niatnya benar. (3) Dunia yang semakin dekat ini mengharuskan
penganut agama-agama samawi dan pemilik tiap peradaban untuk bertemu, berdialog
dan saling memahami. Dan tentu saja dialog semacam itu lebih baik daripada
pemusuhan.
B.
Tujuan
Adapun Tujuan dari pembuatan Makalah singkat ini diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas yang dibebankan oleh
Dosen Pengasuh mata kuliah Pengantar Studi Islam kepada penulis.
2.
Menambah wawasan pembaca pada
umumnya dan penulis khususnya tentang Islam abad ke 20 dan globalisasi
3.
Sebagai bahan latihan penulis dalam
pembuatan karya tulis di masa yang akan datang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Obsesi Islam Merebut Identitas
Global
Islam adalah agama global dan universal. Tujuannya adalah menghadirkan
risalah peradaban islam yang sempurna dan menyeluruh, baik secara spirit,
akhlak maupun materi. Di dalamnya, ada aspek duniawi dan ukhrowi yang saling melengkapi. Keduanya
adalah satu kesatuan yang utuh dan integral. Universalitas atau globalitas
islam menyeru semua manusia, tanpa memandang bangsa, suku bangsa, warna kulit
dan deferensiasi lainnya. Hal ini
dijelaskan Allah SWT. dalam al-Qur’an,
”Al-Qur’an itu hanyalah peringatan
bagi seluruh alam”. (Qs. at Takwir:27)
Semenjak abad VII H., nabi Muhamad
SAW. sudah menerapkan konsep globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Misalnya ketika beliau mengirim utusannya membawa surat-surat beliau kepada
para raja dan para pemimpin di berbagai negara tetangga. Di antara para raja dan pemimpin itu
adalah Raja Romawi dan Kisra Persia. Dengan demikian, ketika beliau wafat maka
seluruh bangsa Arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang telah dirintis oleh
beliau. Perlu dipahami bahwa globalisasi islam berangkat dari kesatuan antara
tataran konseptual dan tataran aktual, dan ini merupakan salah satu
keistimewaan islam.
Menurut Fathi Yakan, globalisasi islam memiliki keistimewaaan-keistimewaan,
yaitu :
@ Memiliki
keseimbangan antara hak dan kewajiban
@ Membangun suatu
masyarakat yang adil dan memiliki kekuatan
@
Memiliki landasan atau konsep
kesetaraan manusia tanpa diskriminasi, baik status sosial, etnis, kekayaan,
warna kulit dan sejenisnya
@ Menjadikan
musyawarah sebagai landasan sistem politik
@
Menjadikan ilmu sebagai kewajiban
bagi masyarakat untuk mengembangkan bakat-bakat kemanusiaan dan lain-lain
Demi kepentingan cita dan
kreasi-kreasi jangka panjang yang lebih substansial, umat islam harus memahami
globalisasi tidak dalam kerangka kekuasaan yang berpusat pada satu pihak.
Sebagaimana globalisasi tidak harus diapahmi sebagai hegemoni ekonomi dan
kekuatan militer semata. Adalah terlalu optimis jika umat islam melihat dunia
sebagai satu kesatuan. Atas nama masa depan yang lebih baik dan pemaknaan
secara substansial atas nilai-nilai islam dalam cita idealis menyusun peta baru
dunia, kita sebagai umat islam juga punya alasan untuk bisa menikmati
globalisasi, tentu sesuai dengan defenisi yang tidak bertabrakan dengan framework
kita.
B.
Globalisasi Islam Sebuah Kesadaran Sejarah
Globalisasi yang kita pahami adalah globalisasi islam. Dalam kerangka
filosofis keumatan, kita harus memahami bahwa islam adalah aturan universal
yang bisa menjangkau dunia. Ia bisa melampaui ruang dan waktu, dan tak
terbatasi. Globalisasi islam adalah proses mengglobalkan nilai-nilai
universalitas, seperti toleransi, kebersamaan, keadilan, kesatuan, musyawarah
dan lain-lain. Yang terpenting untuk dipahami bahwa bagi umat islam standarnya bukanlah
berpijak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi, politik dan keserakahan budaya.
Karena pijakannya yaitu wahyu, dan orientasinya adalah sebuah upaya totalitas
dalam kebaikan, ketegasan untuk menegasikan kemungkaran demi cita-cita luhur
penghambaan kepada Allah semata. Inilah yang kita istilahkan dengan cita-cita
peradaban. Dalam hal ini teori Kuntowijoyo berada pada posisinya yang tepat.
Kuntowijoyo mengistilahkannya dengan liberasi dan humanisasi yang dibingkai
oleh nilai-nilai transendensi. Hal ini bisa dicermati pada isyarat Allah dalam
Qs.
Ali Imran ayat 110,
öNçGZä. uö�yz >p¨Bé& ôMy_Ì�÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâ�ßDù's? Å$rã�÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ì�x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zö�yz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
”’kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah...”.
Ayat tersebut memberi isyarat kepada
kita mengenai arti kesadaran sejarah bagi umat islam, yaitu yang diistilahkan
oleh Kuntowijoyo sebagai aktivisme sejarah. Artinya, umat islam mesti terlibat
dalam pergulatan sejarah.
Jadi, pelakunya adalah ’umat’, dan
tingkah lakunya adalah ’menyuruh kepada yang ma’ruf’, ’mencegah dari yang
mungkar’, dan ’beriman kepada Allah’. Menurut Kuntowijoyo, dalam konteks masa
kini, ’menyuruh kepada yang ma’ruf’ akan berarti humanisasi dalam budaya,
mobilitas dalam kehidupan sosial, pembangunan dalam ekonomi dan rekulturasi
dalam politik.
’Mencegah dari yang mungkar’ berarti berusaha memberantas kejahatan.
Misalnya, pelarangan penjualan narkotika, pemberantasan korupsi dan lain-lain.
Itu juga berarti liberasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Theology
of Liberation dalam islam dapat diambil dari ayat ini. Liberasi adalah
pendekatan revolusioner, yang dalam konteks Indonesia masa kini biaya sosialnya
terlalu mahal, sehingga jalan ini sulit ditempuh. Karena itu, umat islam hanya
mengambil substansinya, yaitu usaha yang sungguh-sungguh. Revolusi biasanya
berarti kekerasan, pembunuhan dan perusakkan. Dalam islam ada larangan berbuat
kerusakan, sehingga revolusi negatif mesti dihindari.
Beriman kepada Allah’ berarti transendensi. Dalam dunia yang penuh kejolak
materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme seperti saat ini,
kedudukan transendensi menjadi penting. Umat islam mempunyai kepentingan untuk
memasukkan kesadaran spiritual dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam level
nasional bahkan sampai pada level global.
Kesadaran sejarah seperti ini berarti keterlibatan secara aktif dalam
rekayasa sosial global, berarti juga kesadaran kenabian atau kesadaran
profetik.
Kemudian, apa yang mesti difokuskan oleh umat islam khususnya gerakan
pemuda islam dalam menjemput impian itu? Kita mesti menyadari sebuah realita
bahwa ada jarak yang terbentang jauh antara wacana pemikiran bahkan nilai islam
dengan realitas umatnya, termasuk generasi mudanya. Sehingga semakin jauh jarak
dan masih panjang waktu yang ditempuh umat ini sampai kepada takdir
kejayaannya. Artinya, tesis yang mengatakan bahwa kemenangan merupakan hadiah
yang pasti datang, akan terlambat bahkan tidak akan datang jika syarat
takdirnya tidak dipenuhi secara matang.
Untuk itu, sebelum melakukan langkah-langkah strategis lain, yang mesti
dilakukan oleh generasi muda islam adalah tertuju kepada realitas itu, bahwa
harus ada pemetaan yang jelas dan akurat tentang realitas umat, baik realitas
historisnya maupun realitas kekiniannya, dan dengan melakukan
perbandingan-perbandingan sejarah, (yang kemudian) dari situlah kita bisa
merumuskan agenda-agenda kebangkitan yang mesti kita tunaikan.
Dalam konteks itu, beberapa hal
berikut menjadi layak untuk dijadikan sebagai agenda mendesak yang mesti kita
fokuskan.
1.
Penguasaan Atas Referensi Keislaman
Jika membaca kisah kenabian
Muhamad Saw. dan generasi utama setelah beliau ternyata banyak pesan historis
yang sangat luar biasa. Sehingga sampai saat ini kita bisa melihat dan
merasakan bagaimana islam itu berkembang pesat, bahkan kita juga bisa
menikmatinya secara tulus. Dan yang menjadi energi tangguh sekaligus sebagai
tolak ukur kemajuan pada masa itu adalah penguasaan atas referensi utama
keislaman. Coba kita bayangkan bagaimana cerdasnya ‘Aisyah ra. yang bisa
menjadi referensi para sahabat yang lain ketika Rasulullah Saw. meninggal.
‘Aisyah ra menjadi referensi ilmu yang sangat luar biasa pada umur belasan
tahun. ‘Aisyah ra. tentu tidak begitu saja menjadi referensi. Karena itu,
’Aisyah ra. pasti memiliki kapasitas pengetahuan yang sangat luar biasa. Demikian juga
sahabat Abu Bakar ra., Umar ra., Utsman dan Ali ra.
Kisah berikut akan mengingtkan kita mengenai sebuah kekuatan yang menunjang
ketangguhan peradaban islam pada zaman sahabat. Suatu saat Ali bin Abi Tholib
ra. didatangi beberapa orang dan menanyakan mana yang lebih mulia antara ilmu
dan harta. Ali ra. menjawab: ’Lebih mulia ilmu. Ilmu menjagamu, harta kamu
harus menjaganya. Ilmu bila kamu berikan bertambah, harta berkurang. Ilmu
warisan para Nabi, harta warisan Fir’aun dan Qarun. Ilmu menjadikan kamu
bersatu, harta bisa membuat kamu berpecah belah....’.
Dalam sejarah hidupnya Ali ra. –juga Abu Bakar ra., Umar ra., Ibnu Abbas
ra. dan para sahabat yang lain—lebih menyibukkan diri mencari ilmu, berdakwah
dan berjihad daripada sekedar mengumpulkan berkarung-karung uang atau emas.
Utsman bin Affan ra. dan Abdurrahman bin ’Auf ra. yang terkenal dengan
kekayaannya pun selalu ingin mendengar ilmu dari Rasulullah saw., meskipun
mereka adalah milyarder yang sukses dalam berbisnis.
Generasi yang berilmu atau tradisi membangun masyarakat berilmu ini telah
diproklamirkan Rasulullah Saw. semenjak ayat al-Quran yang pertama turun. Ayat
Iqra’, bacalah, telah mengubah sahabat-sahabat Rasulullah Saw. dari orang-orang
jahiliyah yang suka mabuk-mabukan, main perempuan, berleha-leha, menipu, egois
dengan harta kekayaan menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan
dan berakhlak mulia. Mengubah generasi-generasi Arab jahiliyah yang tidak
diperhitungkan dalam pergolakan dunia, menjadi pemimpin-pemimpin dunia yang
disegani di seluruh kawasan dunia saat itu.
Tradisi baca, tulis-menulis dan diskusi begitu hidup saat itu. Tiap ayat
al-Quran turun, Rasulullah Saw. memerintahkan kepada sahabat dekatnya untuk menulis,
Zaid bin Tsabit ra., Ali bin Abi Thalib ra. dan lain-lain. Bahkan tradisi
membaca dan menulis ini menjadi simbol kemuliaan seseorang. Rasulullah SAW.
bahkan menugaskan Abdullah bin Said bin al-Ash ra. untuk mengajarkan tulis
menulis di Madinah. Juga memberi mandat Ubadah bin as Shamit ra. mengajarkan
tulis menulis ketika itu. Kata Ubadah ra., bahwa ia pernah diberi hadiah panah
dari salah seorang muridnya, setelah mengajarkan tulis menulis kepada Ahli
Shuffah. Sa’ad bin Jubair ra. berkata: “Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku
biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku,
dan kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata:” Hapalkanlah, tetapi terutama
sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah. Dan jika kau
memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.” (lihat Prof.
Mustafa Azami, 2000)
Semangat mereka dalam memburu ilmu pengetahuan makin tinggi, berkat
pemahaman terhadap al-Quran yang banyak ayat-ayatnya mendorong agar umat islam
senantiasa menggunakan akalnya. Ibnu Taimiyah rohimallahu ‘anhu meriwayatkan
bahwa banyak sahabat yang tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah Rasulullah
SAW. Menurut Ibnu Taimiyyah, jumlah orang yang tinggal di dalam Suffah (asrama
tempat belajar), mencapai 400 orang.
Menurut Prof. Azami, Rasulullah Saw.
mempunyai sekitar 65 sekretaris yang bertugas menulis berbagai hal khusus.
Khusus menulis al-Quran: Ali bin Abi Thalib ra., Zaid bin Tsabit ra., Utsman
bin Affan ra. dan Ubay bin Ka’ab ra. Khusus mencatat harta-harta sedekah:
Zubair bin Awwam ra. dan Jahm bin al Shalit ra. Masalah hutang dan perjanjian
lain-lain: Abdullah bin al Arqam ra. dan al Ala’ bin Uqbah ra. Bertugas
mempelajari dan menerjemahkan bahasa asing (Suryani): Zaid bin Tsabit ra.
Sekretaris cadangan dan selalu membawa stempel Nabi: Handhalah ra. (Lihat
“Kuttabun Nabi”, Prof. Mustafa Azami)
Generasi selanjutnya, seperti Jabir
ibn Abdullah ra. menempuh perjalanan sebulan penuh dari kota Madinah ke kota
‘Arisy di Mesir hanya demi mencari satu Hadits. Ibnu al-Jauzi ra. menulis lebih
dari seribu judul. Imam Ahmad ra. pernah menempuh perjalanan ribuan kilomater
untuk mencari satu hadits, bertani untuk mencari rezeki dan masih membawa-bawa
tempat tinta pada usia 70 tahun. Imam al-Bukhari ra. menulis kitab Shahih-nya
selama 16 tahun dan selalu sholat dua raka’at setiap kali menulis satu hadits,
serta berdo’a meminta petunjuk Allah SWT. Sehingga karyanya menjadi contoh
teladan, tujuan para ulama dan pemuncak cita-cita. Imam Nawawi ra. (wafat 676
H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu’, dan Syarah Shahih Muslim,
disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar 8 cabang ilmu dari subuh sampai
larut malam.
Dalam masalah tradisi ilmu ini,
Prof. Wan Daud menyatakan bahwa kejayaan atau kejatuhan suatu bangsa tergantung
pada kuat atau tidaknya budaya ilmu pada bangsa itu. “Pembinaan budaya ilmu
yang terpadu dan jitu merupakan prasyarat awal dan terpenting bagi kesuksesan,
kekuatan dan kebahagiaan seseorang dan suatu bangsa. Suatu individu atau suatu
bangsa yang mempunyai kekuasaan atau kekayaan tidak bisa mempertahankan
miliknya, atau mengembangkannya tanpa budaya ilmu yang baik. Malah dia akan
bergantung kepada orang atau bangsa lain yang lebih berilmu. Kita telah melihat
sendiri betapa beberapa negara minyak yang kaya-raya terpaksa bergantung hampir
dalam semua aspek penting kehidupan negaranya kepada negara lain yang lebih
maju dari segi keilmuan dan kepakaran. Sedangkan unsur lain, yaitu harta dan
tahta, bersifat eksternal dan sementara. Keduanya bukanlah ciri yang sejalan
dengan diri seseorang atau suatu bangsa tanpa ilmu yang menjadi dasarnya.
Sebaliknya jika ilmu terbudaya dalam diri pribadi dan masyarakat dengan baik,
maka bukan saja bisa mempertahankan dan meningkatkan lagi keberhasilan yang
ada, malah bisa memberikan kemampuan untuk memulihkan diri dalam menghadapi
segala kerumitan dan tantangan,” papar Guru Besar ISTAC Malaysia ini.
Hanya orang-orang yang rabun pemikirannya yang menyatakan bahwa kejayaan
atau kemunduran suatu individu atau bangsa karena harta atau kekayaan materi
semata. Bangsa Brunei, Kuwait dan Arab Saudi yang kaya raya, kenyataannya tidak
menjadi bangsa yang hebat, maju atau disegani dunia. Orang-orang ‘Barat’ dengan
pengetahuannyalah, yang ‘menyetir’, mengeksplorasi sumber-sumber daya alam yang
kaya di Saudi, Kuwait dan lain-lain. Bahkan juga bisa dibilang ekonomi dan
politiknya.
Tentu, kejayaan ilmu sekuler, meski bisa menguasai teknologi dan peradaban
manusia, ia tidak dapat memberikan kebahagiaan jiwa manusia. Karena landasan
keilmuan mereka memang dibangun dari kegelisahan jiwa, keragu-raguan dan tidak
pernah mengalami keyakinan. Sehingga kita lihat meski telah mengalami kemajuan
teknologi, ‘Barat’ tidak dapat mengobati penyakit jiwa manusia. Banyak orang
‘Barat’ yang pintar tapi jahat atau pintar tapi curang, culas dan lain-lain.
Seperti sistem ekonomi dan politik dunia yang bekerja saat ini pun yang
dibangun dengan penjajahan atas Iraq, Palestina, Afghan dan pemiskinan
negara-negara berkembang melalui World Bank, PBB, IMF dan lain-lain.
Penguasaan individu atau masyarakat
kepada ilmu pengetahuanlah yang akan mengantarkan kejayaan sebuah bangsa. Teori
Kuntowijoyo, pengilmuan islam, berada pada posisinya yang tepat. Peradaban
Islam yang berdiri ribuan tahun telah membuktikan semuanya. Dan kini kita
meninggalkan jejak, sejarah dan budaya kita sendiri, meniru-niru jejak ‘Barat’
yang mengagung-agungkan materi dan keduniaan.
Padahal al-Quran mengingatkan bahwa
persatuan atau kemajuan bangsa yang sejati adalah dengan aqidah Islam, bukan
dengan harta benda semata. Allah SWT. berfirman,
“Walaupun kamu membelanjakan
(kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Anfal: 63)
Dalam kancah modern, tepatnya abad
20, kita bisa membaca sejarah perkembangan gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin.
Salah satu keunggulan gerakan ini pada awal-awal pendiriannya adalah kontribusi
tokohnya, Hasan al-Banna. Kontribusi beliau adalah mengubah wacana menjadi
sebuah gerakan. Yang beliau lakukan adalah mengkaji ulang referensi utama
islam: al-Qur’an dan as-Sunnah, untuk kemudian mencoba menemukan ruh islam dari
kedua sumber tersebut. Setelah itu beliau mengkaji ulang sejarah kaum muslimin
dan kemudian membandingkannya dengan sejarah-sejarah umat lain. Dari referensi
normatif (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan referensi emperis (sejarah peradaban
islam dan peradaban lainnya serta realitas kekinian umat islam dan umat
lainnya), beliau kemudian menyusun ulang sebuah anasir (semacam proposal) yang
diperlukan oleh umat islam untuk bangkit kembali.
Pelajaran penting dari
fenomena-fenomena tersebut adalah bahwa dalam dunia yang penuh dengan kreasi
ini, penuh dengan tantangan yang mengglobal seperti saat ini, yang harus kita
lakukan adalah merasionalisasikan pemahaman yang kita yakini secara terbuka
yang dilandasai oleh ‘penguasaan’ atas ilmu pengetahuan atau kemampuan
‘mendialogkan islam’ secara global dengan bahasa zamannya. Sehingga ketika melangkah
itu dengan kepastian, ketika bersikap itu dengan ketegasan tanpa ragu
sedikitpun. Dan peran ‘berani tampil’ ini merupakan langkah cerdas yang lebih
kontekstual dengan kondisi manusia saat ini. Karena tampilannya adalah tampilan
yang mengedepankan kewarasan intelektual dan bukan emosional semata. Untuk
selanjutnya, biarlah dunia menonton dan segera menjadikan islam sebagai
referensi utama peradabannya.
Kita berharap, suatu saat dunia akan
mencatat bahwa sebuah fenomena luar biasa yang terjadi di abad 21, pada saat
globalisasi kapitalisme mulai runtuh, akan tumbuh sebuah peradaban yang diawali
oleh membudayanya tradisi intelektual di kalangan umat islam, khusunya generasi
mudanya. Suatu saat sejarah akan mencatat, ‘Barat’ takut dan bahkan bertekuk
lutut di hadapan peradaban islam. Manusia dalam sejarah masa depan juga akan
bertanya, apa penyebabnya? Maka sejarah akan memberikan jawaban dengan
mengatakan ‘salah satu penyebabnya adalah ketegasan umat islam dalam bersikap.
Ketegasan sikap ini dibentuk oleh kultur intelektual yang ‘menjelajahi’
ruang-ruang pikiran umat islam terutama mahasiswanya; generasi mudanya.
Sehingga ketika mereka mengeluarkan sikap keumatan dalam konteks peradaban, itu
dilakukan dengan mengambil intisari teori-teori keilmuan yang realistis dengan
kebutuhan zamannya.’
Yang jelas, kebangkitan umat islam
akan menjadi catatan sejarah dengan berbagai dinamika yang memiliki
syarat-syaratnya tersendiri; yang tanpa itu kebangkitan hanya sekedar menjadi
wacana dan tidak akan pernah ada dalam realitas kehidupan dan sejarah. Untuk
itu, yang kita lakukan adalah merumuskan syarat-syarat itu, agar proposal
kepemimpinan umat yang sering didengungkan bisa diwujudkan sesegera mungkin.
2.
Penyiapan Cadang Kepemimpinan
Penyiapan cadang kepemimpinan
tentu mengarah kepada kaderisasi atau regenerasi dan penyolidan simpul-simpul
umat dan anak bangsa. Mengenai kaderisasi kepemimpian cukup banyak hal yang
mesti difokuskan. Tetapi sebagai gagasan awal penjelasan pertama bisa dijadikan
sebagai rujukan; terutama sebagai upaya mengubah wacana menjadi gerakan.
Yang jelas, generasi muda mesti
menceburkan diri dalam realitas umat. Generasi muda harus membawa diri ke
ruang-ruang komunitas umat secara langsung. Hidup bersama mereka, memberikan
pengarahan atas apa yang mereka bingungkan, memberikan jawaban atas apa yang
mereka tanyakan. Sehingga yang terjadi adalah pembentukan pola pikir, pola
tingkah, pola sikap dan seterusnya; dan tidak berhenti pada komunikasi dan
hubungan berdasarkan kepentingan sesaat.
Adapun mengenai, penyolidan simpul-simpul umat, ada banyak hal yang mesti
kita pikirkan bersama. Kita perlu bersyukur bahwa selain sebagai negeri yang
bermayoritas muslim terbesar, Indonesia juga memiliki banyak keunikan lain.
Kita memiliki banyak komunitas, lembaga atau organisasi kemasyarakat islam,
baik yang fokus dalam masalah-masalah sosial, pendidikan, kesehatan maupun yang
lainnya. Baik yang berada di ruang lingkup masyarakat secara langsung maupun di
ruang lingkup pelajar dan mahasiswa. Ini semua adalah kekayaan sekaligus
sebagai khazanah yang sangat luar biasa. Kita tentu berharap semua
elemen-elemen umat bersatu padu dalam bingkai yang sama yaitu ukhuwah
islamiyah, dengan agenda bersama membangun peradaban baru dunia dengan islam,
yang diawali dari penyatuan seluruh elemen umat dalam merekayasa kebangkitan
negeri ini.
Artinya, Indonesia harus menjadi inisiator sekaligus pelaku utama
kebangkitan islam dalam merekayasa peta baru peradaban dunia. Jika ini yang
menjadi titik tolak obsesinya, maka dalam waktu yang tidak lama kebangkitan
islam akan menjadi kenyataan, dan itu berawal dari Indonesia. Negeri ini adalah
sebuah negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Karena itu,
negeri ini idealnya mesti menjadi pelaku utama dalam meretas peran-peran
besarnya sebagai juru bicara kebaikan-kebaikan Islam di belahan dunia.
3.
Penguatan Diplomasi dan Jaringan
Kalau kita membaca sejarah kenabian Muhamad Saw., maka kita akan
mendapatkan catatan penting bahwa kekuatan jaringan dan masifikasi diplomasi
adalah dua hal yang menyatu dan tak terpisahkan dalam agenda perjalanan
dakwahnya. Dengan dua kekuatan ini Rasulullah SAW. dan para sahabatnya mampu
membangun sebuah peradaban besar sampai Madinah. Beliau dan para sahabatnya
menjalin hubungan politis, ekonomis bahkan lintas budaya dengan berbagai suku
dan tokoh-tokoh yang ada. Dari sini bisa kita pahami bahwa awal penyebaran
islam diskenario oleh manusia-manusia yang sangat unggul dalam diplomasi untuk
membumikan islam. Selain itu, tentu mereka juga memiliki keluasan jaringan.
Sehingga sampai saat ini kita bisa melihat bagaimana islam itu berkembang dan
diakui bahkan diyakini oleh banyak manusia sebagai satu-satunya ‘dien’ yang
mampu menyeting peradaban untuk waktu yang cukup lama.
Dalam konteks ke-kini-an, terutama terkait dengan bacaan kita terhadap
realitas dalam cita-cita merebut identitas global dengan Islam, maka hal ini
menjadi penting dan harus menjadi pikiran seluruh elemen umat dan bangsa ini.
Bangsa Indonesia, khususnya umat islam harus memulai dan lebih serius merambah
ke ranah-ranah ini. Untuk itu jugalah, kemampuan berbahasa asing menjadi
penting. Kita mesti terharu dan perlu bangga dengan diadakannya Lomba Debat
Bahasa Arab se-Asean pada pertengahan Juli 2007 lalu di Malaysia yang diselenggarakan
oleh Universitas Sains Islam Malaysia dengan tema “Menjadikan Bahasa Arab
sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan dan Diplomasi”. Waktu itu Indonesia diwakili
oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Islam
Negeri Malang dengan prestasi juara III, setelah diungguli oleh ‘utusan’
kawakan intelektual muslim dari Universitas Islam Antara Bangsa yang sudah
biasa dengan belasan bahasa Asing seperti Bahasa Arab, Inggris, dan Mandarin.
Selain itu, kita juga mesti bangga dengan kunjungan aktivis mahasiswa muslim
yang tergabung dalam Gabungan Mahasiswa Islam Se-Malaysia (GAMIS) ke KAMMI
Daerah Bandung Jawa Barat, 3-5 Juli 2008 yang lalu. Walaupun pertemuannya
sederhana, namun banyak hal yang dibicarakan, termasuk masalah pengkaderan dan
obsesi gerakan pemuda islam dalam menata peta baru dunia. Ini merupakan awalan
bagi pemuda dan mahasiswa muslim Asia Tenggara dalam menunjukkan identitas
peradaban yang telah lama dilupakan. Ini juga menunjukkan bahwa ke depan
aktivis gerakan pemuda dan mahasiswa muslim, harus mau melakukan komunikasi
terbuka dengan gerakan pemuda dan mahasiswa muslim di tingkat dunia.
Yang jelas, saat ini islam sudah mulai berkembang dan mengambil posisi
strstegis dalam kancah dialog global. Islam sudah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari identitas peradaban politik global yang sangat kental. Kita
berharap fenomena semaraknya umat islam kembali kepada islam benar-benar
menjadi kecemasan kolektif ’Barat’, setidaknya dengan kecemasan Lord Cambell di
Inggris pada tahun 1902 tentang akan terbitnya matahari islam atau ketika
Samuel P. Huntington mengingatkan masyarakat Barat akan ancaman konflik
peradaban dalam skala masif antara ’Barat’ dengan Islam dan antara ’Barat’
dengan aliansi Islam-China, sebagaimana yang dijelaskan dalam bukunya The Clash
of Civilization.
Untuk mempertajam pemahaman kita mengenai beberapa hal di atas, alangkah
baiknya jika kita merenungi pesan gerakan di balik keunikan firman Allah dalam
Qs. al-Hasyr:13,
“Sungguh eksistensi kalian sangat ditakuti di dalam sanubari mereka
ketimbang (takut) pada Allah. Hal itu (tiada lain) karena mereka adalah kaum
yang tidak faqih.”
Ayat ini menurut Rijalul Imam (2008:5-6), menjelaskan bahwa ’eksistensi
ummat yang disegani tersebut tiada lain karena ketidakfaqihan
(ketidakmengertian) musuh-musuhnya. Musuh yang tidak memahami lawannya akan
merasa takut pada lawannya. Dalam konteks peradaban -bisa dikatakan- bahwa
peradaban yang tidak menguasai lawan peradabannya akan merasa takut pada
lawannya yang menguasai peradabannya secara utuh.’
Melalui ayat tersebut juga bisa dipahami bahwa rahasia kekuatan umat islam
terletak pada mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari akhir ayat tersebut,
yakni kefaqihan ummat pada agamanya. Kuncinya ada pada al-fiqh. Yang dimaksud al-fiqh
di sini bukanlah fiqih dalam terminologi ilmu hukum Islam semata. Lebih dari
itu, al-fiqh sesuai dengan makna dasarnya adalah al-fahmud-daqiq atau
pemahaman yang mendalam mengenai substansi dan berbagai sisi agama dan
peradabannya. Jadi mengetahui (al-‘ilm) saja tidak cukup, perlu ditingkatkan ke
level memahami (al-fahm). Tapi memahami juga tidak cukup, perlu pendalaman
hingga pada tingkat pemahaman yang mendalam (al-fiqh) atau al-fahmud-daqiq.
BAB III
PENUTUP
Setiap masyarakat dan peradaban memiliki nilai-nilai yang diyakini.
Kedudukan nilai dalam sebuah sebuah komunitas atau dalam tatanan global
sekalipun bukan sekedar sebagai pemandu tetapi juga sebagai pemberi arti bagi
kreativitas yang dilakukan. Nilai yang mengahrmonisasikan keragaman yang
terdapat dalam sebuah tatanan seharusnya menjadi sebuah panorama kehidupan yang
indah. Posisi nilai yang begitu penting, maka ia selalu melekat kuat dalam
kehidupan. Ia menjadi
tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas hidup pengusungnya. Nilai
yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi energi yang mendorong
seseorang atau sebuah komunitas untuk selalu bertekad dalam menegakkan dan
bahkan membelanya.
Dalam konteks cita merebut identitas global, identitas nilai yang dimaksud
adalah nilai ke-universalitas-an islam. Kemampuan untuk menyukseskan agenda ini
adalah ujian sekaligus (seharusnya) menjadi fokus setiap elemen umat islam yang
harus memilih jalan ini. Sehingga dengan demikian proposal meretas jalan
kebangkitan Islam sebagaimana yang ditawarkan oleh Hasan al-Banna seperti
yang disampaikan oleh Dr. Abdul Hamid al-Ghozali dalam bukunya ’Haula
Asasiyat al Masyru’ al Islami Li Nahdhoh al-Ummah’ segera kita tunaikan. Untuk
selanjutnya, biarkanlah sejarah yang akan bercerita, bahwa umat islam telah
memberi hadiah peradaban gemilang kepada seluruh umat manusia di atas
kemuliyaan islam yang sempurna;