.

Breaking News

Minggu, 03 Februari 2013

MAKALAH ISLAM DI ABAD KE 20 DAN GLOBALISASI


Top of Form
BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Sebagai umat Islam, kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk memiliki sifat itu adalah: (1) Kita adalah pemilik risalah ‘alamiyah (global) yang datang untuk seluruh manusia di seluruh penjuru dunia. Benar bahwa Kitab suci kita berbahasa Arab, Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur (Arab). Tetapi ini bukan berarti bahwa Islam ditujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi.
Agama masehi sendiri tumbuh di dunia Timur, lalu tersebar di penjuru dunia. (2) Jalan untuk menuju saling pengertian dan berdekatan cukup banyak. (Salah satunya adalah ta’aruf). Jadi ta’aruf –bukan saling bermusuhan- merupakan kewajiban semua penduduk bumi. Kita tidak sependapat dengan seorang sastrawan Barat yang mengatakan, ‘Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat. Keduanya tidak mungkin bertemu.’ Keduanya justru bisa bertemu, dan bahkan wajib untuk bertemu bila niatnya benar. (3) Dunia yang semakin dekat ini mengharuskan penganut agama-agama samawi dan pemilik tiap peradaban untuk bertemu, berdialog dan saling memahami. Dan tentu saja dialog semacam itu lebih baik daripada pemusuhan.
 
B.        Tujuan
Adapun Tujuan dari pembuatan Makalah singkat ini diantaranya adalah sebagai berikut  :
1.            Memenuhi tugas yang dibebankan oleh Dosen Pengasuh mata kuliah Pengantar Studi Islam kepada penulis.
2.             Menambah wawasan pembaca pada umumnya dan penulis khususnya tentang Islam abad ke 20 dan globalisasi
3.             Sebagai bahan latihan penulis dalam pembuatan karya tulis di masa yang akan datang

                                     










BAB II
PEMBAHASAN

A.      Obsesi Islam Merebut Identitas Global 
Islam adalah agama global dan universal. Tujuannya adalah menghadirkan risalah peradaban islam yang sempurna dan menyeluruh, baik secara spirit, akhlak maupun materi. Di dalamnya, ada aspek duniawi dan ukhrowi yang saling melengkapi. Keduanya adalah satu kesatuan yang utuh dan integral. Universalitas atau globalitas islam menyeru semua manusia, tanpa memandang bangsa, suku bangsa, warna kulit dan deferensiasi lainnya. Hal ini dijelaskan Allah SWT. dalam al-Qur’an,

”Al-Qur’an itu hanyalah peringatan bagi seluruh alam”. (Qs. at Takwir:27)
Semenjak abad VII H., nabi Muhamad SAW. sudah menerapkan konsep globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya ketika beliau mengirim utusannya membawa surat-surat beliau kepada para raja dan para pemimpin di berbagai negara tetangga. Di antara para raja dan pemimpin itu adalah Raja Romawi dan Kisra Persia. Dengan demikian, ketika beliau wafat maka seluruh bangsa Arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang telah dirintis oleh beliau. Perlu dipahami bahwa globalisasi islam berangkat dari kesatuan antara tataran konseptual dan tataran aktual, dan ini merupakan salah satu keistimewaan islam.

Menurut Fathi Yakan, globalisasi islam memiliki keistimewaaan-keistimewaan, yaitu : 
@            Memiliki keseimbangan antara hak dan kewajiban
@            Membangun suatu masyarakat yang adil dan memiliki kekuatan
@            Memiliki landasan atau konsep kesetaraan manusia tanpa diskriminasi, baik status sosial, etnis, kekayaan, warna kulit dan sejenisnya
@            Menjadikan musyawarah sebagai landasan sistem politik
@            Menjadikan ilmu sebagai kewajiban bagi masyarakat untuk mengembangkan bakat-bakat kemanusiaan dan lain-lain

Demi kepentingan cita dan kreasi-kreasi jangka panjang yang lebih substansial, umat islam harus memahami globalisasi tidak dalam kerangka kekuasaan yang berpusat pada satu pihak.  Sebagaimana globalisasi tidak harus diapahmi sebagai hegemoni ekonomi dan kekuatan militer semata. Adalah terlalu optimis jika umat islam melihat dunia sebagai satu kesatuan. Atas nama masa depan yang lebih baik dan pemaknaan secara substansial atas nilai-nilai islam dalam cita idealis menyusun peta baru dunia, kita sebagai umat islam juga punya alasan untuk bisa menikmati globalisasi, tentu sesuai dengan defenisi yang tidak bertabrakan dengan framework  kita. 

B.      Globalisasi Islam Sebuah Kesadaran Sejarah
Globalisasi yang kita pahami adalah globalisasi islam. Dalam kerangka filosofis keumatan, kita harus memahami bahwa islam adalah aturan universal yang bisa menjangkau dunia. Ia bisa melampaui ruang dan waktu, dan tak terbatasi. Globalisasi islam adalah proses mengglobalkan nilai-nilai universalitas, seperti toleransi, kebersamaan, keadilan, kesatuan, musyawarah dan lain-lain. Yang terpenting untuk dipahami bahwa bagi umat islam standarnya bukanlah berpijak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi, politik dan keserakahan budaya. Karena pijakannya yaitu wahyu, dan orientasinya adalah sebuah upaya totalitas dalam kebaikan, ketegasan untuk menegasikan kemungkaran demi cita-cita luhur penghambaan kepada Allah semata. Inilah yang kita istilahkan dengan cita-cita peradaban. Dalam hal ini teori Kuntowijoyo berada pada posisinya yang tepat. Kuntowijoyo mengistilahkannya dengan liberasi dan humanisasi yang dibingkai oleh nilai-nilai transendensi. Hal ini bisa dicermati pada isyarat Allah dalam                 Qs. Ali Imran ayat 110,
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  

”’kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah...”.
Ayat tersebut memberi isyarat kepada kita mengenai arti kesadaran sejarah bagi umat islam, yaitu yang diistilahkan oleh Kuntowijoyo sebagai aktivisme sejarah. Artinya, umat islam mesti terlibat dalam pergulatan sejarah.
Jadi, pelakunya adalah ’umat’, dan tingkah lakunya adalah ’menyuruh kepada yang ma’ruf’, ’mencegah dari yang mungkar’, dan ’beriman kepada Allah’. Menurut Kuntowijoyo, dalam konteks masa kini, ’menyuruh kepada yang ma’ruf’ akan berarti humanisasi dalam budaya, mobilitas dalam kehidupan sosial, pembangunan dalam ekonomi dan rekulturasi dalam politik.
’Mencegah dari yang mungkar’ berarti berusaha memberantas kejahatan. Misalnya, pelarangan penjualan narkotika, pemberantasan korupsi dan lain-lain. Itu juga berarti liberasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Theology of Liberation dalam islam dapat diambil dari ayat ini. Liberasi adalah pendekatan revolusioner, yang dalam konteks Indonesia masa kini biaya sosialnya terlalu mahal, sehingga jalan ini sulit ditempuh. Karena itu, umat islam hanya mengambil substansinya, yaitu usaha yang sungguh-sungguh. Revolusi biasanya berarti kekerasan, pembunuhan dan perusakkan. Dalam islam ada larangan berbuat kerusakan, sehingga revolusi negatif mesti dihindari.
Beriman kepada Allah’ berarti transendensi. Dalam dunia yang penuh kejolak materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme seperti saat ini, kedudukan transendensi menjadi penting. Umat islam mempunyai kepentingan untuk memasukkan kesadaran spiritual dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam level nasional bahkan sampai pada level global.
Kesadaran sejarah seperti ini berarti keterlibatan secara aktif dalam rekayasa sosial global, berarti juga kesadaran kenabian atau kesadaran profetik.
Kemudian, apa yang mesti difokuskan oleh umat islam khususnya gerakan pemuda islam dalam menjemput impian itu? Kita mesti menyadari sebuah realita bahwa ada jarak yang terbentang jauh antara wacana pemikiran bahkan nilai islam dengan realitas umatnya, termasuk generasi mudanya. Sehingga semakin jauh jarak dan masih panjang waktu yang ditempuh umat ini sampai kepada takdir kejayaannya. Artinya, tesis yang mengatakan bahwa kemenangan merupakan hadiah yang pasti datang, akan terlambat bahkan tidak akan datang jika syarat takdirnya tidak dipenuhi secara matang.
Untuk itu, sebelum melakukan langkah-langkah strategis lain, yang mesti dilakukan oleh generasi muda islam adalah tertuju kepada realitas itu, bahwa harus ada pemetaan yang jelas dan akurat tentang realitas umat, baik realitas historisnya maupun realitas kekiniannya, dan dengan melakukan perbandingan-perbandingan  sejarah, (yang kemudian) dari situlah kita bisa merumuskan agenda-agenda kebangkitan yang mesti kita tunaikan.
Dalam konteks itu, beberapa hal berikut menjadi layak untuk dijadikan sebagai agenda mendesak yang mesti kita fokuskan.
1.             Penguasaan Atas Referensi Keislaman
 Jika membaca kisah kenabian Muhamad Saw. dan generasi utama setelah beliau ternyata banyak pesan historis yang sangat luar biasa. Sehingga sampai saat ini kita bisa melihat dan merasakan bagaimana islam itu berkembang pesat, bahkan kita juga bisa menikmatinya secara tulus. Dan yang menjadi energi tangguh sekaligus sebagai tolak ukur kemajuan pada masa itu adalah penguasaan atas referensi utama keislaman. Coba kita bayangkan bagaimana cerdasnya ‘Aisyah ra. yang bisa menjadi referensi para sahabat yang lain ketika Rasulullah Saw. meninggal. ‘Aisyah ra menjadi referensi ilmu yang sangat luar biasa pada umur belasan tahun. ‘Aisyah ra. tentu tidak begitu saja menjadi referensi. Karena itu, ’Aisyah ra. pasti memiliki kapasitas pengetahuan yang sangat luar biasa. Demikian juga sahabat Abu Bakar ra., Umar ra., Utsman dan Ali ra.
Kisah berikut akan mengingtkan kita mengenai sebuah kekuatan yang menunjang ketangguhan peradaban islam pada zaman sahabat. Suatu saat Ali bin Abi Tholib ra. didatangi beberapa orang dan menanyakan mana yang lebih mulia antara ilmu dan harta. Ali ra. menjawab: ’Lebih mulia ilmu. Ilmu menjagamu, harta kamu harus menjaganya. Ilmu bila kamu berikan bertambah, harta berkurang. Ilmu warisan para Nabi, harta warisan Fir’aun dan Qarun. Ilmu menjadikan kamu bersatu, harta bisa membuat kamu berpecah belah....’.
Dalam sejarah hidupnya Ali ra. –juga Abu Bakar ra., Umar ra., Ibnu Abbas ra. dan para sahabat yang lain—lebih menyibukkan diri mencari ilmu, berdakwah dan berjihad daripada sekedar mengumpulkan berkarung-karung uang atau emas. Utsman bin Affan ra. dan Abdurrahman bin ’Auf ra. yang terkenal dengan kekayaannya pun selalu ingin mendengar ilmu dari Rasulullah saw., meskipun mereka adalah milyarder yang sukses dalam berbisnis.
Generasi yang berilmu atau tradisi membangun masyarakat berilmu ini telah diproklamirkan Rasulullah Saw. semenjak ayat al-Quran yang pertama turun. Ayat Iqra’, bacalah, telah mengubah sahabat-sahabat Rasulullah Saw. dari orang-orang jahiliyah yang suka mabuk-mabukan, main perempuan, berleha-leha, menipu, egois dengan harta kekayaan menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan dan berakhlak mulia. Mengubah generasi-generasi Arab jahiliyah yang tidak diperhitungkan dalam pergolakan dunia, menjadi pemimpin-pemimpin dunia yang disegani di seluruh kawasan dunia saat itu.
Tradisi baca, tulis-menulis dan diskusi begitu hidup saat itu. Tiap ayat al-Quran turun, Rasulullah Saw. memerintahkan kepada sahabat dekatnya untuk menulis, Zaid bin Tsabit ra., Ali bin Abi Thalib ra. dan lain-lain. Bahkan tradisi membaca dan menulis ini menjadi simbol kemuliaan seseorang. Rasulullah SAW. bahkan menugaskan Abdullah bin Said bin al-Ash ra. untuk mengajarkan tulis menulis di Madinah. Juga memberi mandat Ubadah bin as Shamit ra. mengajarkan tulis menulis ketika itu. Kata Ubadah ra., bahwa ia pernah diberi hadiah panah dari salah seorang muridnya, setelah mengajarkan tulis menulis kepada Ahli Shuffah. Sa’ad bin Jubair ra. berkata: “Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata:” Hapalkanlah, tetapi terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah. Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.” (lihat Prof. Mustafa Azami, 2000)
Semangat mereka dalam memburu ilmu pengetahuan makin tinggi, berkat pemahaman terhadap al-Quran yang banyak ayat-ayatnya mendorong agar umat islam senantiasa menggunakan akalnya. Ibnu Taimiyah rohimallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa banyak sahabat yang tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah Rasulullah SAW. Menurut Ibnu Taimiyyah, jumlah orang yang tinggal di dalam Suffah (asrama tempat belajar), mencapai 400 orang.
Menurut Prof. Azami, Rasulullah Saw. mempunyai sekitar 65 sekretaris yang bertugas menulis berbagai hal khusus. Khusus menulis al-Quran: Ali bin Abi Thalib ra., Zaid bin Tsabit ra., Utsman bin Affan ra. dan Ubay bin Ka’ab ra. Khusus mencatat harta-harta sedekah: Zubair bin Awwam ra. dan Jahm bin al Shalit ra. Masalah hutang dan perjanjian lain-lain: Abdullah bin al Arqam ra. dan al Ala’ bin Uqbah ra. Bertugas mempelajari dan menerjemahkan bahasa asing (Suryani): Zaid bin Tsabit ra. Sekretaris cadangan dan selalu membawa stempel Nabi: Handhalah ra. (Lihat “Kuttabun Nabi”, Prof. Mustafa Azami)
Generasi selanjutnya, seperti Jabir ibn Abdullah ra. menempuh perjalanan sebulan penuh dari kota Madinah ke kota ‘Arisy di Mesir hanya demi mencari satu Hadits. Ibnu al-Jauzi ra. menulis lebih dari seribu judul. Imam Ahmad ra. pernah menempuh perjalanan ribuan kilomater untuk mencari satu hadits, bertani untuk mencari rezeki dan masih membawa-bawa tempat tinta pada usia 70 tahun. Imam al-Bukhari ra. menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu sholat dua raka’at setiap kali menulis satu hadits, serta berdo’a meminta petunjuk Allah SWT. Sehingga karyanya menjadi contoh teladan, tujuan para ulama dan pemuncak cita-cita. Imam Nawawi ra. (wafat 676 H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu’, dan Syarah Shahih Muslim, disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar 8 cabang ilmu dari subuh sampai larut malam.
Dalam masalah tradisi ilmu ini, Prof. Wan Daud menyatakan bahwa kejayaan atau kejatuhan suatu bangsa tergantung pada kuat atau tidaknya budaya ilmu pada bangsa itu. “Pembinaan budaya ilmu yang terpadu dan jitu merupakan prasyarat awal dan terpenting bagi kesuksesan, kekuatan dan kebahagiaan seseorang dan suatu bangsa. Suatu individu atau suatu bangsa yang mempunyai kekuasaan atau kekayaan tidak bisa mempertahankan miliknya, atau mengembangkannya tanpa budaya ilmu yang baik. Malah dia akan bergantung kepada orang atau bangsa lain yang lebih berilmu. Kita telah melihat sendiri betapa beberapa negara minyak yang kaya-raya terpaksa bergantung hampir dalam semua aspek penting kehidupan negaranya kepada negara lain yang lebih maju dari segi keilmuan dan kepakaran. Sedangkan unsur lain, yaitu harta dan tahta, bersifat eksternal dan sementara. Keduanya bukanlah ciri yang sejalan dengan diri seseorang atau suatu bangsa tanpa ilmu yang menjadi dasarnya. Sebaliknya jika ilmu terbudaya dalam diri pribadi dan masyarakat dengan baik, maka bukan saja bisa mempertahankan dan meningkatkan lagi keberhasilan yang ada, malah bisa memberikan kemampuan untuk memulihkan diri dalam menghadapi segala kerumitan dan tantangan,” papar Guru Besar ISTAC Malaysia ini.
Hanya orang-orang yang rabun pemikirannya yang menyatakan bahwa kejayaan atau kemunduran suatu individu atau bangsa karena harta atau kekayaan materi semata. Bangsa Brunei, Kuwait dan Arab Saudi yang kaya raya, kenyataannya tidak menjadi bangsa yang hebat, maju atau disegani dunia. Orang-orang ‘Barat’ dengan pengetahuannyalah, yang ‘menyetir’, mengeksplorasi sumber-sumber daya alam yang kaya di Saudi, Kuwait dan lain-lain. Bahkan juga bisa dibilang ekonomi dan politiknya.
Tentu, kejayaan ilmu sekuler, meski bisa menguasai teknologi dan peradaban manusia, ia tidak dapat memberikan kebahagiaan jiwa manusia. Karena landasan keilmuan mereka memang dibangun dari kegelisahan jiwa, keragu-raguan dan tidak pernah mengalami keyakinan. Sehingga kita lihat meski telah mengalami kemajuan teknologi, ‘Barat’ tidak dapat mengobati penyakit jiwa manusia. Banyak orang ‘Barat’ yang pintar tapi jahat atau pintar tapi curang, culas dan lain-lain. Seperti sistem ekonomi dan politik dunia yang bekerja saat ini pun yang dibangun dengan penjajahan atas Iraq, Palestina, Afghan dan pemiskinan negara-negara berkembang melalui World Bank, PBB, IMF dan lain-lain.
Penguasaan individu atau masyarakat kepada ilmu pengetahuanlah yang akan mengantarkan kejayaan sebuah bangsa. Teori Kuntowijoyo, pengilmuan islam, berada pada posisinya yang tepat. Peradaban Islam yang berdiri ribuan tahun telah membuktikan semuanya. Dan kini kita meninggalkan jejak, sejarah dan budaya kita sendiri, meniru-niru jejak ‘Barat’ yang mengagung-agungkan materi dan keduniaan.
Padahal al-Quran mengingatkan bahwa persatuan atau kemajuan bangsa yang sejati adalah dengan aqidah Islam, bukan dengan harta benda semata. Allah SWT. berfirman,
“Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Anfal: 63)
Dalam kancah modern, tepatnya abad 20, kita bisa membaca sejarah perkembangan gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin. Salah satu keunggulan gerakan ini pada awal-awal pendiriannya adalah kontribusi tokohnya, Hasan al-Banna. Kontribusi beliau adalah mengubah wacana menjadi sebuah gerakan. Yang beliau lakukan adalah mengkaji ulang referensi utama islam: al-Qur’an dan as-Sunnah, untuk kemudian mencoba menemukan ruh islam dari kedua sumber tersebut. Setelah itu beliau mengkaji ulang  sejarah kaum muslimin dan kemudian membandingkannya dengan sejarah-sejarah umat lain. Dari referensi normatif (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan referensi emperis (sejarah peradaban islam dan peradaban lainnya serta realitas kekinian umat islam dan umat lainnya), beliau kemudian menyusun ulang sebuah anasir (semacam proposal) yang diperlukan oleh umat islam untuk bangkit kembali.
Pelajaran penting dari fenomena-fenomena tersebut adalah bahwa dalam dunia yang penuh dengan kreasi ini, penuh dengan tantangan yang mengglobal seperti saat ini, yang harus kita lakukan adalah merasionalisasikan pemahaman yang kita yakini secara terbuka yang dilandasai oleh ‘penguasaan’ atas ilmu pengetahuan atau kemampuan ‘mendialogkan islam’ secara global dengan bahasa zamannya. Sehingga ketika melangkah itu dengan kepastian, ketika bersikap itu dengan ketegasan tanpa ragu sedikitpun. Dan peran ‘berani tampil’ ini merupakan langkah cerdas yang lebih kontekstual dengan kondisi manusia saat ini. Karena tampilannya adalah tampilan yang mengedepankan kewarasan intelektual dan bukan emosional semata. Untuk selanjutnya, biarlah dunia menonton dan segera menjadikan islam sebagai referensi utama peradabannya.
Kita berharap, suatu saat dunia akan mencatat bahwa sebuah fenomena luar biasa yang terjadi di abad 21, pada saat globalisasi kapitalisme mulai runtuh, akan tumbuh sebuah peradaban yang diawali oleh membudayanya tradisi intelektual di kalangan umat islam, khusunya generasi mudanya. Suatu saat sejarah akan mencatat, ‘Barat’ takut dan bahkan bertekuk lutut di hadapan peradaban islam. Manusia dalam sejarah masa depan juga akan bertanya, apa penyebabnya? Maka sejarah akan memberikan jawaban dengan mengatakan ‘salah satu penyebabnya adalah ketegasan umat islam dalam bersikap. Ketegasan sikap ini dibentuk oleh kultur intelektual yang ‘menjelajahi’ ruang-ruang pikiran umat islam terutama mahasiswanya; generasi mudanya. Sehingga ketika mereka mengeluarkan sikap keumatan dalam konteks peradaban, itu dilakukan dengan mengambil intisari teori-teori keilmuan yang realistis dengan kebutuhan zamannya.’
Yang jelas, kebangkitan umat islam akan menjadi catatan sejarah dengan berbagai dinamika yang memiliki syarat-syaratnya tersendiri; yang tanpa itu kebangkitan hanya sekedar menjadi wacana dan tidak akan pernah ada dalam realitas kehidupan dan sejarah. Untuk itu, yang kita lakukan adalah merumuskan syarat-syarat itu, agar proposal kepemimpinan umat yang sering didengungkan bisa diwujudkan sesegera mungkin.

2.             Penyiapan Cadang Kepemimpinan
 Penyiapan cadang kepemimpinan tentu mengarah kepada kaderisasi atau regenerasi dan penyolidan simpul-simpul umat dan anak bangsa. Mengenai kaderisasi kepemimpian cukup banyak hal yang mesti difokuskan. Tetapi sebagai gagasan awal penjelasan pertama bisa dijadikan sebagai rujukan; terutama sebagai  upaya mengubah wacana menjadi gerakan.
Yang jelas, generasi muda mesti menceburkan diri dalam realitas umat. Generasi muda harus membawa diri ke ruang-ruang komunitas umat secara langsung. Hidup bersama mereka, memberikan pengarahan atas apa yang mereka bingungkan, memberikan jawaban atas apa yang mereka tanyakan. Sehingga yang terjadi adalah pembentukan pola pikir, pola tingkah, pola sikap dan seterusnya; dan tidak berhenti pada komunikasi dan hubungan berdasarkan kepentingan sesaat.
Adapun mengenai, penyolidan simpul-simpul umat, ada banyak hal yang mesti kita pikirkan bersama. Kita perlu bersyukur bahwa selain sebagai negeri yang bermayoritas muslim terbesar, Indonesia juga memiliki banyak keunikan lain. Kita memiliki banyak komunitas, lembaga atau organisasi kemasyarakat islam, baik yang fokus dalam masalah-masalah sosial, pendidikan, kesehatan maupun yang lainnya. Baik yang berada di ruang lingkup masyarakat secara langsung maupun di ruang lingkup pelajar dan mahasiswa. Ini semua adalah kekayaan sekaligus sebagai khazanah yang sangat luar biasa. Kita tentu berharap semua elemen-elemen umat bersatu padu dalam bingkai yang sama yaitu ukhuwah islamiyah, dengan agenda bersama membangun peradaban baru dunia dengan islam, yang diawali dari penyatuan seluruh elemen umat dalam merekayasa kebangkitan negeri ini.
Artinya, Indonesia harus menjadi inisiator sekaligus pelaku utama kebangkitan islam dalam merekayasa peta baru peradaban dunia. Jika ini yang menjadi titik tolak obsesinya, maka dalam waktu yang tidak lama kebangkitan islam akan menjadi kenyataan, dan itu berawal dari Indonesia. Negeri ini adalah sebuah negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Karena itu, negeri ini idealnya mesti menjadi pelaku utama dalam meretas peran-peran besarnya sebagai juru bicara kebaikan-kebaikan Islam di belahan dunia.

3.       Penguatan Diplomasi dan Jaringan
Kalau kita membaca sejarah kenabian Muhamad Saw., maka kita akan mendapatkan catatan penting bahwa kekuatan jaringan dan masifikasi diplomasi adalah dua hal yang menyatu dan tak terpisahkan dalam agenda perjalanan dakwahnya. Dengan dua kekuatan ini Rasulullah SAW. dan para sahabatnya mampu membangun sebuah peradaban besar sampai Madinah. Beliau dan para sahabatnya menjalin hubungan politis, ekonomis bahkan lintas budaya dengan berbagai suku dan tokoh-tokoh yang ada. Dari sini bisa kita pahami bahwa awal penyebaran islam diskenario oleh manusia-manusia yang sangat unggul dalam diplomasi untuk membumikan islam. Selain itu, tentu mereka juga memiliki keluasan jaringan. Sehingga sampai saat ini kita bisa melihat bagaimana islam itu berkembang dan diakui bahkan diyakini oleh banyak manusia sebagai satu-satunya ‘dien’ yang mampu menyeting peradaban untuk waktu yang cukup lama.
Dalam konteks ke-kini-an, terutama terkait dengan bacaan kita terhadap realitas dalam cita-cita merebut identitas global dengan Islam, maka hal ini menjadi penting dan harus menjadi pikiran seluruh elemen umat dan bangsa ini. Bangsa Indonesia, khususnya umat islam harus memulai dan lebih serius merambah ke ranah-ranah ini. Untuk itu jugalah, kemampuan berbahasa asing menjadi penting. Kita mesti terharu dan perlu bangga dengan diadakannya Lomba Debat Bahasa Arab se-Asean pada pertengahan Juli 2007 lalu di Malaysia yang diselenggarakan oleh Universitas Sains Islam Malaysia dengan tema “Menjadikan Bahasa Arab sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan dan Diplomasi”. Waktu itu Indonesia diwakili oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Islam Negeri Malang dengan prestasi juara III, setelah diungguli oleh ‘utusan’ kawakan intelektual muslim dari Universitas Islam Antara Bangsa yang sudah biasa dengan belasan bahasa Asing seperti Bahasa Arab, Inggris, dan Mandarin. Selain itu, kita juga mesti bangga dengan kunjungan aktivis mahasiswa muslim yang tergabung dalam Gabungan Mahasiswa Islam Se-Malaysia (GAMIS) ke KAMMI Daerah Bandung Jawa Barat, 3-5 Juli 2008 yang lalu. Walaupun pertemuannya sederhana, namun banyak hal yang dibicarakan, termasuk masalah pengkaderan dan obsesi gerakan pemuda islam dalam menata peta baru dunia. Ini merupakan awalan bagi pemuda dan mahasiswa muslim Asia Tenggara dalam menunjukkan identitas peradaban yang telah lama dilupakan. Ini juga menunjukkan bahwa ke depan aktivis gerakan pemuda dan mahasiswa muslim, harus mau melakukan komunikasi terbuka dengan gerakan pemuda dan mahasiswa muslim di tingkat dunia.
Yang jelas, saat ini islam sudah mulai berkembang dan mengambil posisi strstegis dalam kancah dialog global. Islam sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas peradaban politik global yang sangat kental. Kita berharap fenomena semaraknya umat islam kembali kepada islam benar-benar menjadi kecemasan kolektif ’Barat’, setidaknya dengan kecemasan Lord Cambell di Inggris pada tahun 1902 tentang akan terbitnya matahari islam atau ketika Samuel P. Huntington mengingatkan masyarakat Barat akan ancaman konflik peradaban dalam skala masif antara ’Barat’ dengan Islam dan antara ’Barat’ dengan aliansi Islam-China, sebagaimana yang dijelaskan dalam bukunya The Clash of Civilization.
Untuk mempertajam pemahaman kita mengenai beberapa hal di atas, alangkah baiknya jika kita merenungi pesan gerakan di balik keunikan firman Allah dalam  Qs. al-Hasyr:13,
“Sungguh eksistensi kalian sangat ditakuti di dalam sanubari mereka ketimbang (takut) pada Allah. Hal itu (tiada lain) karena mereka adalah kaum yang tidak faqih.”
Ayat ini menurut Rijalul Imam (2008:5-6), menjelaskan bahwa ’eksistensi ummat yang disegani tersebut tiada lain karena ketidakfaqihan (ketidakmengertian) musuh-musuhnya. Musuh yang tidak memahami lawannya akan merasa takut pada lawannya. Dalam konteks peradaban -bisa dikatakan- bahwa peradaban yang tidak menguasai lawan peradabannya akan merasa takut pada lawannya yang menguasai peradabannya secara utuh.’
Melalui ayat tersebut juga bisa dipahami bahwa rahasia kekuatan umat islam terletak pada mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari akhir ayat tersebut, yakni kefaqihan ummat pada agamanya. Kuncinya ada pada al-fiqh. Yang dimaksud al-fiqh di sini bukanlah fiqih dalam terminologi ilmu hukum Islam semata. Lebih dari itu, al-fiqh  sesuai dengan makna dasarnya adalah al-fahmud-daqiq atau pemahaman yang mendalam mengenai substansi dan berbagai sisi agama dan peradabannya. Jadi mengetahui (al-‘ilm) saja tidak cukup, perlu ditingkatkan ke level memahami (al-fahm). Tapi memahami juga tidak cukup, perlu pendalaman hingga pada tingkat pemahaman yang mendalam (al-fiqh) atau al-fahmud-daqiq.



BAB III
PENUTUP
         
Setiap masyarakat dan peradaban memiliki nilai-nilai yang diyakini. Kedudukan nilai dalam sebuah sebuah komunitas atau dalam tatanan global sekalipun bukan sekedar sebagai pemandu tetapi juga sebagai pemberi arti bagi kreativitas yang dilakukan. Nilai yang mengahrmonisasikan keragaman yang terdapat dalam sebuah tatanan seharusnya menjadi sebuah panorama kehidupan yang indah. Posisi nilai yang begitu penting, maka ia selalu melekat kuat dalam kehidupan. Ia menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas hidup pengusungnya. Nilai yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi energi yang mendorong seseorang atau sebuah komunitas untuk selalu bertekad dalam menegakkan dan bahkan membelanya.
Dalam konteks cita merebut identitas global, identitas nilai yang dimaksud adalah nilai ke-universalitas-an islam. Kemampuan untuk menyukseskan agenda ini adalah ujian sekaligus (seharusnya) menjadi fokus setiap elemen umat islam yang harus memilih jalan ini. Sehingga dengan demikian proposal meretas jalan kebangkitan Islam sebagaimana yang ditawarkan oleh Hasan al-Banna seperti  yang disampaikan oleh Dr. Abdul Hamid al-Ghozali dalam bukunya ’Haula Asasiyat al Masyru’ al Islami Li Nahdhoh al-Ummah’ segera kita tunaikan. Untuk selanjutnya, biarkanlah sejarah yang akan bercerita, bahwa umat islam telah memberi hadiah peradaban gemilang kepada seluruh umat manusia di atas kemuliyaan islam yang sempurna;

Komentar Anda Disini !

Copyright © 2010 - Abdyanews
Designed By Xplory Design