BLANGPIDIE - Berbagai kalangan di Aceh kaget karena pembeli atau importir
mancanegara kini menolak untuk membeli minyak pala (nutmeg oil) dari
Aceh, dengan dalih terkontaminasi minyak tanah.
Namun, di sisi
lain mencuat pula kecurigaan bahwa isu terkontaminasi minyak tanah itu
sengaja diembuskan para eksportir di Sumatera Utara dan Jakarta untuk
menjatuhkan harga beli minyak pala Aceh justru ketika harganya saat ini
di pasar dunia mencapai rekor tertinggi, 120 US dolar (Rp 1.140.000) per
kilogram.
Salah satu yang curiga bahwa eksportir ikut bermain
di balik isu minyak pala terkontaminasi minyak tanah (mitan) ini adalah
Hermansyah SH. Anggota Komisi B DPRK Aceh Barat Daya (Abdya) ini menduga
terjadi permainan atau spekulasi pengusaha eksportir di balik informasi
bahwa pembeli (buyer) mancanegara mulai enggan membeli minyak pala dari
Aceh (Aceh Selatan dan Abdya) dengan alasan terkontaminasi mitan saat
processing.
“Kita patut curigai informasi itu karena kabar dunia
tolak minyak pala dari Aceh justru mencuat ketika harga minyak pala
melambung mencapai Rp 960.000 sampai Rp 970.000/kg. Ini tingkat harga
tertinggi dalam sejarah perpalaan di Aceh. Jangan-jangan hanya
akal-akalan eksportir saja untuk meraup keuntungan besar dengan cara
menekan harga minyak pala di dalam negeri,” kata Hermansyah menjawab
Serambi di Blangpidie, Abdya, Kamis (14/2).
Menurutya, kebiasaan
sebagian petani pala mencampur mitan untuk memudahkan pemisahan bunga
biji pala (fully) denga cangkang bijinya, sudah tidak dilakukan lagi
oleh petani pala sejak bertahun-tahun. “Kalau benar terkontaminasi
mitan, kenapa dulu tidak ditolak. Tapi kenapa justru ditolak ketika
harganya sedang melambung tinggi? Kita patut curiga,” tukas Hermansyah.
Anggota
Dewan yang antara lain membidangi perindustrian dan perdagangan ini
mendesak pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemkab Abdya untuk
meminta klarifikasi dari buyers mancananegara, terutama Eropa, selaku
penumpung utama minyak pala dari Aceh.
“Pengecekan atau
klarifikasi itu sangat penting. Sebab, apabila benar pembeli mancanegara
tolak membeli minyak pala dari Aceh, maka akan mengakibatkan harga
minyak pala di tingkat pedagang setempat melorot,” kata politisi PPP
ini.
Kecurigaan juga datang dari May Fendri, Koordinator Lembaga
Independen Bersih Aceh Selatan (LIBAS). Saat ditanyai kemarin ia
menyatakan mitan yang dikabarkan mengontaminasi minyak pala itu belum
tentu dilakukan oleh pedagang pengumpul. “Saya khawatirkan ini hanya
spekulasi cukong–cukong yang tak bertanggung jawab yang menginginkan
supaya harga pala Aceh turun,” tukasnya.
Untuk mengklarifikasi
hal itu, May Fendri berharap pemerintah melalui dinas terkait serius
menyelidiki dan menangani persoalan tersebut supaya tidak berimbas
kepada kerugian yang lebih besar lagi terhadap masyarakat petani pala
setempat.
Menariknya, kalangan eksekutif juga menyuarakan
kecurigaannya. “Saya terkejut membaca berita bahwa pasar dunia tak mau
lagi beli minyak pala asal Aceh. Beragam dugaan bisa muncul ketika
tersiar kabar tentang itu. Pasalnya, informasi tersebut justru mencuat
ketika harga minyak pala sedang meroket. Bisa saja ada apa-apanya di
balik kabar ini,” kata Rajuddin SPd MM, Kadis Perindagkop dan UKM Abdya.
Ia merekomendasikan agar penolakan oleh importir untuk membeli minyak
pala Aceh itu perlu diteliti kembali kebenarannya.
Dari provinsi,
Drs Sulaiman Abda MSi juga bersuara. Wakil Ketua DPRA ini mengingatkan
Pemerintah Aceh supaya tidak menggangap enteng persoalan yang sedang
dihadapi petani pala Aceh saat ini. Yakni, minyak pala Aceh mulai
ditolak pembeli di pasar internasional, karena dikatakan bercampur
minyak tanah.
“Saya minta Pemerintah Aceh turun tangan mengatasi
masalah ini. Ini masalah serius, menyangkut nasib dan masa depan
puluhan ribu petani pala di Aceh,” kata Sulaiman Abda kepada Serambi
kemarin.
Ketua DPD I Partai Golkar Aceh ini juga menyarankan,
supaya tim terpadu cepat bertindak mengusut persoalan ini dengan
menurunkan tim yang melibatkan Dinas Perindustrian, Pedagangan, dan
Perkebunan ke Aceh Selatan dan Abdya sebagai sentra produksi pala Aceh.
“Kalau
kasus ini terbukti ada, maka perlu diberikan sosialisasi kepada
masyarakat bahwa tidak boleh lagi menggunakan minyak tanah dalam proses
pemisahan bunga pala dari cangkang bijinya sebelum disuling,” kata
Sulaiman Abda.
Di tengah ramainya silang pendapat tentang minyak
palak terkontaminasi mitan tersebut, Serambi kemarin berupaya
menghubungi via sms Presiden Direktur PT Indedsso, Wien Gunawan.
Perusahaannya merupakan eksportir terbesar minyak atsiri dari Indonesia.
Namun, ia belum mau berkomentar panjang. “Kami bersedia untuk sharing
tentang pala ini. Tapi saat ini kami sedang di Cina. Beberapi hari lagi
akan balik dan Anda akan kami hubungi untuk janjian,” demikian sms Wien
Gunawan menjawab Serambi. (nun/sup/tz/dik)
Perlu Diteliti Kembali
Saya
terkejut membaca berita bahwa pasar dunia tolak membeli minyak pala
asal Aceh. Informasi tersebut tentulah membuat resah petani pala di Aceh
Barat Daya selaku produsen pala terbesar dan kualitas terbaik di
Indonesia. Beragam dugaan bisa muncul ketika tersiar kabar pasar dunia
tolak membeli minyak pala dari Aceh. Pasalnya, informasi tersebut justru
mencuat ketika harga minyak pala sedang meroket.
Begitupun,
penolakan importir membeli minyak pala Aceh dengan alasan terkontaminasi
minyak tanah perlu diteliti atau dicek kembali kebenarannya.
* Rajuddin SPd MM, Kadis Perindagkop dan UKM Abdya. (nun)
Teknik Ekstraksi Uap untuk Cegah Kontaminasi
Prihatin
terhadap fakta bahwa tiga ton minyak pala (nutmeg oil) dari Aceh
baru-baru ini ditolak oleh pembeli/importir internasional karena
terkontaminasi minyak tanah (kerosin), tiga ilmuwan dengan latar
belakang keilmuan di bidang kimia dan fisika, Kamis (14/2) kemarin
menggelar diskusi terbatas di Darussalam, Banda Aceh, untuk mencari
solusi yang jitu terhadap persoalan tersebut.
Mereka adalah Dr
Zulkarnain Jalil MSi, Ketua Tim Focal Research Area (FRA) FMIPA
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang juga pakar fisika material dan
mineral, Dr Muhammad Bahi (Pakar Kimia Organik FMIPA), dan Elly Sufriadi
SSi MSi (Pakar Kimia Analitik FMIPA Unsyiah).
Dalam diskusi itu Dr Muhammad Bari merekomendasikan teknik ekstraksi uap untuk menjaga kemurnian minyak pala yang diproduksi.
Menurutnya,
sebagai salah satu minyak atsiri (essential oil), minyak pala dapat
diisolasi dari biji pala melalui proses ekstraksi. Caranya, menggunakan
metoda ekstraksi uap (steam extraction) atau secara distilasi fraksinasi
(berdasarkan perbedaan sifat fisika, yaitu titik didih).
Menurutnya,
jika minyak pala tercampur minyak tanah (mitan) saat proses pengolahan
secara tradisional, maka untuk proses pemurnian kembali minyak pala
tersebut, lebih cocok diterapkan teknik ektraksi uap. Hal ini
dikarenakan oleh sifat minyak atsiri yang mudah bercampur dengan uap air
(pada metoda ekstraksi uap). Sedangkan mitan (kerosin), berdasarkan
sifat fisikanya sukar larut dengan air panas atau dingin, sehingga pada
proses pemisahan dengan metoda ekstraksi uap tidak akan ikut terekstrasi
dengan uap air. Dengan demikian, hanya minyak pala saja yang akan ikut
terpisah.
Di samping itu, kata Muhammad Bari, metoda ekstraksi uap lebih sederhana dan ekonomis dibandingkan distilasi fraksinasi.
Sementara
itu, Pakar Kimia Analitik, Elly Sufriadi berpendapat, untuk mencegah
minyak pala dari Aceh terkontaminasi mitan, maka pemerintah daerah
sebaiknya menyediakan mesin mekanis sederhana yang mampu memisahkan biji
dari bunga pala (mace/fully).
Penyediaan mesin tersebut,
menurutnya, tidak harus dalam skala besar. Bisa saja dalam tahap proyek
percontohan. Pertimbangannya, bila hanya sebatas sosialisasi tapi tidak
diikuti dengan memberikan contoh, maka akan sulit berjalan dengan baik.
Di
Aceh saat ini, menurut Elly, sudah ada industri milik masyarakat yang
mampu memproduksi mesin-mesin mekanis yang dapat digunakan untuk
berbagai kebutuhan. “Alangkah baiknya, bila potensi ini diarahkan ke
mesin prosesing minyak pala,” saran Elly Sufriadi.
Di sisi lain,
Dr Zulkarnain Jalil mengaku prihatin karena minyak pala Aceh ditolak
oleh buyers mancanegara, gara-gara terkontaminasi mitan dalam tahap
processing. “Hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena bakal
merugikan citra minyak pala Aceh. Persoalannya sudah kita ketahui, maka
sekarang tinggal mengatasinya saja. Kami dari Tim Focal Research Area
FMIPA terpanggil memberi masukan dan saran bagi peningkatan mutu dan
kelangsungan produksi minyak pala Aceh tersebut,” demikian Zulkarnain.
Syahril
SAg, pengusaha penyulingan minyak pala di Tapaktuan, Aceh Selatan,
mendesak pemerintah melalui dinas terkait segera mencari solusi untuk
mengatasi masalah tersebut.
Ia mengaku sudah beberapa kali
menyarankan kepada Pemkab Aceh Selatan supaya dibangun pabrik
penyulingan pala modern yang bisa langsung mengolah pala basah, termasuk
memisahkan fully (bunga pala) dari cangkang bijinya. “Dengan adanya
pabrik penyulingan modern semacam itu, maka bakal mencegah terjadinya
pola olah yang salah,” ujar Syahril yang juga Ketua DPC Partai Demokrat
Aceh Selatan.(dik/tz)
sumber : serambi indonesia