.

Breaking News

Sabtu, 16 Februari 2013

Dunia Tolak Minyak Pala Aceh

BLANGPIDIE - Berbagai kalangan di Aceh kaget karena pembeli atau importir mancanegara kini menolak untuk membeli minyak pala (nutmeg oil) dari Aceh, dengan dalih terkontaminasi minyak tanah.

Namun, di sisi lain mencuat pula kecurigaan bahwa isu terkontaminasi minyak tanah itu sengaja diembuskan para eksportir di Sumatera Utara dan Jakarta untuk menjatuhkan harga beli minyak pala Aceh justru ketika harganya saat ini di pasar dunia mencapai rekor tertinggi, 120 US dolar (Rp 1.140.000) per kilogram.

Salah satu yang curiga bahwa eksportir ikut bermain di balik isu minyak pala terkontaminasi minyak tanah (mitan) ini adalah Hermansyah SH. Anggota Komisi B DPRK Aceh Barat Daya (Abdya) ini menduga terjadi permainan atau spekulasi pengusaha eksportir di balik informasi bahwa pembeli (buyer) mancanegara mulai enggan membeli minyak pala dari Aceh (Aceh Selatan dan Abdya) dengan alasan terkontaminasi mitan saat processing.

“Kita patut curigai informasi itu karena kabar dunia tolak minyak pala dari Aceh justru mencuat ketika harga minyak pala melambung mencapai Rp 960.000 sampai Rp 970.000/kg. Ini tingkat harga tertinggi dalam sejarah perpalaan di Aceh. Jangan-jangan hanya akal-akalan eksportir saja untuk meraup keuntungan besar dengan cara menekan harga minyak pala di dalam negeri,” kata Hermansyah menjawab Serambi di Blangpidie, Abdya, Kamis (14/2).

Menurutya, kebiasaan sebagian petani pala mencampur mitan untuk memudahkan pemisahan bunga biji pala (fully) denga cangkang bijinya, sudah tidak dilakukan lagi oleh petani pala sejak bertahun-tahun. “Kalau benar terkontaminasi mitan, kenapa dulu tidak ditolak. Tapi kenapa justru ditolak ketika harganya sedang melambung tinggi? Kita patut curiga,” tukas Hermansyah.

Anggota Dewan yang antara lain membidangi perindustrian dan  perdagangan ini mendesak pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemkab Abdya untuk meminta klarifikasi dari buyers mancananegara, terutama Eropa, selaku penumpung utama minyak pala dari Aceh.

“Pengecekan atau klarifikasi itu sangat penting. Sebab, apabila benar pembeli mancanegara tolak membeli minyak pala dari Aceh, maka akan mengakibatkan harga minyak pala di tingkat pedagang setempat melorot,” kata politisi PPP ini.

Kecurigaan juga datang dari May Fendri, Koordinator Lembaga Independen Bersih Aceh Selatan (LIBAS). Saat ditanyai kemarin ia menyatakan mitan yang dikabarkan mengontaminasi minyak pala itu belum tentu dilakukan oleh pedagang pengumpul. “Saya khawatirkan ini hanya spekulasi cukong–cukong yang tak bertanggung jawab yang menginginkan supaya harga pala Aceh turun,” tukasnya.

Untuk mengklarifikasi hal itu, May Fendri berharap pemerintah melalui dinas terkait serius menyelidiki dan menangani persoalan tersebut supaya tidak berimbas kepada kerugian yang lebih besar lagi terhadap masyarakat petani pala setempat.

Menariknya, kalangan eksekutif juga menyuarakan kecurigaannya. “Saya terkejut membaca berita bahwa pasar dunia tak mau lagi beli minyak pala asal Aceh. Beragam dugaan bisa muncul ketika tersiar kabar tentang itu. Pasalnya, informasi tersebut justru mencuat ketika harga minyak pala sedang meroket. Bisa saja ada apa-apanya di balik kabar ini,” kata Rajuddin SPd MM, Kadis Perindagkop dan UKM Abdya. Ia merekomendasikan agar penolakan oleh importir untuk membeli minyak pala Aceh itu perlu diteliti kembali kebenarannya.

Dari provinsi, Drs Sulaiman Abda MSi juga bersuara. Wakil Ketua DPRA ini mengingatkan Pemerintah Aceh supaya tidak menggangap enteng persoalan yang sedang dihadapi petani pala Aceh saat ini. Yakni, minyak pala Aceh mulai ditolak pembeli di pasar internasional, karena dikatakan bercampur minyak tanah.

“Saya minta Pemerintah Aceh turun tangan mengatasi masalah ini. Ini masalah serius, menyangkut nasib dan masa depan puluhan ribu petani pala di Aceh,” kata Sulaiman Abda kepada Serambi kemarin.

Ketua DPD I Partai Golkar Aceh ini juga menyarankan, supaya tim terpadu cepat bertindak mengusut persoalan ini dengan menurunkan tim yang melibatkan Dinas Perindustrian, Pedagangan, dan Perkebunan ke Aceh Selatan dan Abdya sebagai sentra produksi pala Aceh.

“Kalau kasus ini terbukti ada, maka perlu diberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa tidak boleh lagi menggunakan minyak tanah dalam proses pemisahan bunga pala dari cangkang bijinya sebelum disuling,” kata Sulaiman Abda.

Di tengah ramainya silang pendapat tentang minyak palak terkontaminasi mitan tersebut, Serambi kemarin berupaya menghubungi via sms Presiden Direktur PT Indedsso, Wien Gunawan. Perusahaannya merupakan eksportir terbesar minyak atsiri dari Indonesia. Namun, ia belum mau berkomentar panjang. “Kami bersedia untuk sharing  tentang pala ini. Tapi saat ini kami sedang di Cina. Beberapi hari lagi akan balik dan Anda akan kami hubungi untuk janjian,” demikian sms Wien Gunawan menjawab Serambi. (nun/sup/tz/dik)

Perlu Diteliti Kembali

Saya terkejut membaca berita bahwa pasar dunia tolak membeli minyak pala asal Aceh. Informasi tersebut tentulah membuat resah petani pala di Aceh Barat Daya selaku produsen pala terbesar dan kualitas terbaik di Indonesia. Beragam dugaan bisa muncul ketika tersiar kabar pasar dunia tolak membeli minyak pala dari Aceh. Pasalnya, informasi tersebut justru mencuat ketika harga minyak pala sedang meroket.

Begitupun, penolakan importir membeli minyak pala Aceh dengan alasan terkontaminasi minyak tanah perlu diteliti atau dicek kembali kebenarannya.
* Rajuddin SPd MM, Kadis Perindagkop dan UKM Abdya. (nun)         

Teknik Ekstraksi Uap untuk Cegah Kontaminasi

Prihatin terhadap fakta bahwa tiga ton minyak pala (nutmeg oil) dari  Aceh baru-baru ini ditolak oleh pembeli/importir internasional karena terkontaminasi minyak tanah (kerosin), tiga ilmuwan dengan latar belakang keilmuan di bidang kimia dan fisika, Kamis (14/2) kemarin menggelar diskusi terbatas di Darussalam, Banda Aceh, untuk mencari solusi yang jitu terhadap persoalan tersebut.

Mereka adalah Dr Zulkarnain Jalil MSi, Ketua Tim Focal Research Area (FRA) FMIPA Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang juga pakar fisika material dan mineral, Dr Muhammad Bahi (Pakar Kimia Organik FMIPA), dan Elly Sufriadi SSi MSi (Pakar Kimia Analitik FMIPA Unsyiah).

Dalam diskusi itu Dr Muhammad Bari merekomendasikan teknik ekstraksi uap untuk menjaga kemurnian minyak pala yang diproduksi.

Menurutnya, sebagai salah satu minyak atsiri (essential oil), minyak pala dapat diisolasi dari biji pala melalui proses ekstraksi. Caranya, menggunakan metoda ekstraksi uap (steam extraction) atau secara distilasi fraksinasi (berdasarkan perbedaan sifat fisika, yaitu titik didih).

Menurutnya, jika minyak pala tercampur minyak tanah (mitan) saat proses pengolahan secara tradisional, maka untuk proses pemurnian kembali minyak pala tersebut, lebih cocok diterapkan teknik ektraksi uap. Hal ini dikarenakan oleh sifat minyak atsiri yang mudah bercampur dengan uap air (pada metoda ekstraksi uap). Sedangkan mitan (kerosin), berdasarkan sifat fisikanya sukar larut dengan air panas atau dingin, sehingga pada proses pemisahan dengan metoda ekstraksi uap tidak akan ikut terekstrasi dengan uap air. Dengan demikian, hanya minyak pala saja yang akan ikut terpisah.

Di samping itu, kata Muhammad Bari, metoda ekstraksi uap lebih sederhana dan ekonomis dibandingkan distilasi fraksinasi.

Sementara itu, Pakar Kimia Analitik, Elly Sufriadi berpendapat, untuk mencegah minyak pala dari Aceh terkontaminasi mitan, maka pemerintah daerah sebaiknya menyediakan mesin mekanis sederhana yang mampu memisahkan biji dari bunga pala (mace/fully).

Penyediaan mesin tersebut, menurutnya, tidak harus dalam skala besar. Bisa saja dalam tahap proyek percontohan. Pertimbangannya, bila hanya sebatas sosialisasi tapi tidak diikuti dengan memberikan contoh, maka akan sulit berjalan dengan baik.

Di Aceh saat ini, menurut Elly, sudah ada industri milik masyarakat yang mampu memproduksi mesin-mesin mekanis yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan. “Alangkah baiknya, bila potensi ini diarahkan ke mesin prosesing minyak pala,” saran Elly Sufriadi.

Di sisi lain, Dr Zulkarnain Jalil mengaku prihatin karena minyak pala Aceh ditolak oleh buyers mancanegara, gara-gara terkontaminasi mitan dalam tahap processing. “Hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena bakal merugikan citra minyak pala Aceh. Persoalannya sudah kita ketahui, maka sekarang tinggal mengatasinya saja. Kami dari Tim Focal Research Area FMIPA terpanggil memberi masukan dan saran bagi peningkatan mutu dan kelangsungan produksi minyak pala Aceh tersebut,” demikian Zulkarnain.

Syahril SAg, pengusaha penyulingan minyak pala di Tapaktuan, Aceh Selatan, mendesak pemerintah melalui dinas terkait segera mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut.

Ia mengaku sudah beberapa kali menyarankan kepada Pemkab Aceh Selatan supaya dibangun pabrik penyulingan pala modern yang bisa langsung mengolah pala basah, termasuk memisahkan fully (bunga pala) dari cangkang bijinya. “Dengan adanya pabrik penyulingan modern semacam itu, maka bakal mencegah terjadinya pola olah yang salah,” ujar Syahril yang juga Ketua DPC Partai Demokrat Aceh Selatan.(dik/tz)
sumber : serambi indonesia

Komentar Anda Disini !

Copyright © 2010 - Abdyanews
Designed By Xplory Design