Namun pedagang, sebelum membeli minyak pala tersebut terlebih dahulu mentes dengan menggunakan alat meterlak untuk mengetahui apakah bercampur dengan minyak lain atau tidak. “Saya tidak membeli minyak pala yang telah bercampur dengan minyak jenis lain,” ungkap Toke Asie, salah seorang pedagang minyak pala dan minyak nilam di Blangpidie ketika dihubungi Serambi, Jumat (15/2) pagi kemarin.
Ia mengakui ada pedagang yang membeli minyak pala kurang selektif. Toke Asie sudah lama cukup lama aral melintang dalam bisnis pala. Kecuali menampung biji palang kering beragam jenis, juga menampung minyak atsiri, yaitu minyak pala dan minyak nilam setelah proses penyulingan. Minyak pala yang terkumpul selanjutnya dijual ke pedagang eksportir, terutama di Padang Sumatera Barat atau Medan, Sumatera Utara.
Bisnis minyak atsiri sudah dilakoninya sejak puluhan tahun lalu, baik saat minyak pala mengalami kelesuan, harga berfluktuasi sampai tingkat harga melambung tinggi saat ini mencapai Rp 960.000 sampai Rp 970.000/kg. Toke Asie boleh dibilang ahli tentang minyak pala. Mana minyak pala yang sudah terkontaminasi, mana pula yang tidak, dia sangat mengetahuinya.
Toke Asie mengaku tidak terkejut dengan isu bahwa ada sebagian minyak pala dari Aceh sudah terkontaminasi dengan mintan. Karena sebelumnya ada kebiasaan petani tertentu menempuh cara mudah memisahkan bunga biji pala (fully) dengan cangkang bijinya dengan memberi campuran minyak tanah.
Dalam hal ini, Toke Asie selalu menggingatkan para petani atau pengusaha penyulingan (ketel) minyak pala di kampung-kampung agar jangan sekali-kali memberi campuran mitan ketika memisahkan fully dengan biji pala. Karena bila terdeteksi ketika diperiksa dengan alat meterlak, maka dipastikan pihaknya tidak bersedia menampungnya.
Dijelaskan, bahwa pembeli (buyers) mancanegara, terutama kawasan Eropa menolak membeli minyak pala yang sudah terkontaminasi dengan minyak lain. Kalau pun ada yang bersedia menampung, kata dia, sifatnya temporer, dalam jumlah terbatas. Minyak pala tersebut, selain menjadi bahan baku pengolahan parfum juga sebagai bahan makanan.
“Pembeli dari luar negeri sangat berhati-hati, bila minyak pala bercampur pasti ditolak karena akan diolah menjadi bahan makanan,” ungkapnya lagi. Belajar dari pengalaman tersebut Toke Asie sangat selektif ketika membeli minyak pala dari pengusaha ketel (penyulingan) di Abdya atau dari Aceh Selatan.
Dikatakannya, produksi minyak pala Abdya atau Aceh Selatan sejak beberapa tahun belakangan menuurun akibat sebagian besar aeal tanaman pala mati diserang hama. “Dalam satu bulan bisa terkumpul antara 300 sampai 400 kg, sebelumnya bisa mencapai 1 ton,” katanya.(nun)
Editor : bakri