.

Breaking News

Minggu, 03 Februari 2013

MAKALAH USUL FIQH

Top of Form
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Pengertian Ushul Fiqh
تعريف أصول
الأصول جمع الأصل , فهو لغة : ما يبنى عليه غيرُهُ
(
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (إبراهيم)
و الأصل اصطلاحا : الدليل , قيل : أصل هذا الحكم من الكتاب

          Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi, asas, atau akar).
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan: “ Ashlu / Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an).


Pengertian “Fiqh”
تعريف الفقه
الفقه في اللغة: العلم بالشيء والفهم له
(
يفقهوا قولي )طه 27
الفقه اصطلاحا : العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

          Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu. Fiqh istilah : ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci Penjelasan Definisi Fiqh

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

          Mengetahui adalah Ilmu dan persangkaan. Karena mengetahui hukum-hukum fiqih terkadang bersifat yakin dan terkadang bersifat persangkaan, sebagaimana banyak dalam masalah-masalah fiqih.
    Hukum-hukum syari : adalah hukum-hukum yang diambil dari syariat, seperti wajib dan haram, maka tidak termasuk hukum-hukum akal, dan adat
Amaliah adalah apa-apa yang tidak berhubungan dengan aqidah, seperti sholat dan zakat.
Maka tidak termasuk darinya (Amaliah) apa-apa yang berhubungan dengan aqidah; seperti mentauhidkan Allah, dan mengenal nama-nama dan sifat-Nya; Dalil-dalilnya yang terperinci : adalah dalil-dalil fiqh yang berhubungan dengan masalah-masalah fiqh yang terperinci, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu Ushul Fiqih karena pembahasan di dalamnya hanyalah mengenai dalil umum.
Pengertian Ushul Fiqh (Baidhowi)
معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta kondisi (prasyarat)seorang mujtahid).

Penjelasan Pengertian Ushul Fiqh
معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد

          Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain.
    Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih rinci, mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya, dan seterusnya.

B OBYEK FIQIH DAN USHUL FIQIH
          Mempelajari Ilmu Fiqih besar sekali faedahnya bagi manusia. Dengan mengetahui ilmu fiqih menurut yang dita’rifkan ahli ushul, akan dapat diketahui mana yang disuruh mengerjakan dan mana pula yang dilarang mengerjakannya. Dan mana yang haram, mana yang halal, mana yang sah, mana yang bathal dan mana pula yang fasid, yang harus diperhatikan dalam hal segala perbuatan yang disuruh harus di kerjakan dan yang dilarang harus ditinggalkan.
          Ilmu Fiqih yang juga memberi petunjuk kepada manusia tentang pelaksanaan nikah, thalaq, rujuk, dan memelihara jiwa, harta benda serta kehormatan. Juga mengetahui segala hukum – hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia.  Yang dibahas oleh Fiqih adalah perbuatan orang – orang mukallaf, tentunya orang – orang yang telah dibebani ketetapan – ketetapan hukum agama Islam, berarti sesuai dengan tujuannya.
“ Yang di bicarakan oleh Fiqih ( menurut ta’rif ahli ushul ) atau yang dijadikan maudhu’nya ialah segala pekerjaan para mukallaf dari jurusan hukum.
Adapun hasil pembicaraan atau mahmulnya ialah salah satu dari hukum lima, seperti “ perbuatan ini wajib “. Yang dimaksud dengan salah satu dari hukum lima, ialah dari hukum taklifi yang lima :
1.Iijab ( wajib )
2.Nadab ( anjuran )
3.Tahrim ( haram )
4.Karahah ( menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
5. Ibahah ( mubah = membolehkan ) dikerjakan atau ditingglkan.

1.           Hukum mempelajari Fiqih
Hukum mempelajari Fiqih itu terbagi kepada dua bagian :
1.  Ada ilmu Fiqih itu yang wajib dipelajari oleh seluruh umat Islam yang mukallaf, seperti mempelajari masalah shalat, puasa dan lain – lainnya.
2. Ada ilmu Fiqih yang wajib dipelajari oleh sebagian orang yang ada dalam kelompok mereka ( umat Islam ), seperti mengetahui masalah pasakh, ruju’, syarat – syarat menjadi qadhi atau wali hakim dan lain – lainnya.
  Hukum mempelajari Fiqih itu ialah untuk keselamatan di dunia dan akhirat.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pokok bahasan dalam ilmu fiqih ialah perbuatan mukallaf menurut apa yang telah ditetapkan syara’ tentang ketentuan hukumnya. Karena itu dalam ilmu Fiqih yang dibicarakan tentang perbuatan – perbuatan yang menyangkut hubungannya dengan Tuhannya yang dinamakan “ ibadah “ dalam berbagai aspeknya, hubungan manusia sesamanya baik dalam hubungan keluarga, hubungan dengan orang lain dalam bidang kebendaan dan sebagainya.

2. Pembahasan ushul Fiqih
Untuk mengetahui pembahasan dan pembicaraan dalam ushul Fiqih, terlebih dahulu kita harus mengetahui arti ushul Fiqih , harus kita ketahui arti “ Asal “ dan arti “Furu “.
Asal artinya sumber, dasar, menurut istilah agama asal adalah sesuatu yang menjadi dasar ( sendi ) oleh suatu yang lain, sedangkan furu’ sesuatu yang di letakkan di atas asal tadi, seperti sebuah rumah yang diletakkan di atas sendi, maka sendi disebut asal, sedangkan rumah yang terletak diatasnya disebut Furu’. Asal menurut istilah terbagi kepada 5 pengertian : kaidah kulliyah, rajih, mustahhab,Maqis alaih dan dalil.
a) kaidah kulliyah ( peraturan umum ), melaksanakan semua peraturan – peraturan yang ditetapkan oleh syara’, kecuali bagi orang yang dalam keadaan terpaksa, seperti boleh memakan bangkai bagi orang – orang yang terpaksa, sedangkan memakan bangkai menurut syara’ hukumnya haram.
Firman Allah :
إِنَّمَاحَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
Artinya :
“ Sesungguhnya diharamkan atas kamu memakan bangkai “. ( QS. Al Qur'an : 173 ).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
Artinya :
“ Diharamkan atasmu memakan bangkai darah, dan daging babi”. ( QS. Maidah : 3 ).
b). rajih ( terkuat ), asal pada perkataan seseorang benar menurut orang yang mendengar.
c). mushtashhab : menetapkan hukum sesuatu atas hukum yang telah ada, seperti yakin berwudhu ragu dalam berhadas, tetapi seorang itu dalam keadaan suci.
d) maqis’ alain ( tempat mengqiyaskan ) seperti haram riba pada gandum ( gandum = asal dan padi = furu ).
e). dalil ( alasan ) asal hukum sesuatu karena dalilnya seperti wajib zakat karena firman Allah :
وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
Artinya :
“ Tunaikanlah zakat “ ( QS. Al-Baqoroh : 43 ).
Jadi yang dikatakan dan dibicarakan dalam ushul fiqih adalah sebagai berikut : “ Ilmu ushul Fiqih menyelidiki keadaan dalil – dalil syara’ dan menyelidiki bagaimana caranya dalil – dalil tersebut menunjukkan hukum – hukum yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan oleh ushul Fiqih ialah dalil – dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang mukallaf”.
          Ahli ushul Fiqih berbicara tentang Al Qur'an dan Hadits Qur’an dan sunnah dari segi lafalnya, baik dalam bentuk amar, nahyi,’aam, khas mutlaq, mahfum, maslahatul mursalah, syariat yang di tetapkan bagi umat yang terdahulu, yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum pada setiap ucapan dan perbuatan mukallaf. Demikianlah para ahli ushul, membahas lafal amar dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan wajib lafal nahyi dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan haram lafal umum ( ‘ aam ) yang pengertiannya meliputi semua yang dapat dimasukkan ke dalam pengertian itu, lafal mutlaq dilaksanakan menurut arti aslinya demikian juga lafal muqayyad. Maka untuk semua itu mereka tuangkan ke dalam kaidah tertentu yang dinamakan kaidah hukum umum ( hukum kulli ) yang diambil dari sumber atau dalil dasar menetapkan hukum pada kasus tertantu. Umpamanya dari kaidah”amar lil wujub “ diterapkan dalam perjanjian bersumber dari ayat yang berbunyi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya :
“ Hai orang – orang yang beriman, penuhilah aqad – aqad itu ….”
( QS. Al - Maidah : 1 ). Berdasarkan kaidah amar lil wujub memenuhi janji hukumnya wajib. Dalam ayat yang berbunyi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ
Artinya :
“ Hai orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok – olokan kaum yang lain “. ( QS. Al - Hujurat : 11 ). Berdasarkan kaidah umum “ nahyi littahrim “ maka ditetapkan merasa berbangga dan mengolok – olok golongan lain itu hukumnya haram. Dalam firman Allah yang berbunyi :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
Artinya :
“Diharamkan bagi kamu ( mengawini ) ibu – ibu …..” (QS. An- Nissa : 23 ).
Berdasarkan keumuman ayat ini diharamkan mengawini ibu baik ibu kandung maupun ibu susuan. Dari uraian di atas jelaslah perbedaan antara dalil – dalil kulli dan dalil juz’i hukum kulli dan hukum juz’i dan qiyas. Amar dikatakan hukum kulli karena di dalamnya semua yang menunjukkan larangan. Amar dinamakan dalil kulli dan nash mengandung lafal amar dinamakan dalil juz’i. Demikian juga nahyi dalil kulli dan nash yang mengandung lafal nahyi dinamakan dalil juz’i.
Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk ke dalamnya beberapa macam seperti wajib, haram, sah, batal dan sebagainya. Wajib dinamakan hukum kulli karena di dalamnya dapat dimasukkan berbagai perbuatan yang wajib umpamanya wajib menunaikan janji, wajib mengadakan sanki dalam perkawinan. Haram adalah hukum kulli yang masuk ke dalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan seperti haram berbuat zina, haram menuduh berbuat zina, haram mencuri, haram membunuh dan sebagainya dan haram atau wajib yang berlaku pada perbuatan tertentu dinamakan hukum juz’i.
Ahli ushul tidak membahas dalil juz’i dan tidak pula membahas hukum juz’i, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum kulli yang mereka letakkan dalam kaidah umum yang nantinya oleh para fuqaha diterapkan pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha tidak membahas dalil dan hukum kulli, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i.


C. TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM FIQIH DAN USHUL FIQIH
Yang menjadi dasar dan pendorong bagi ummat Islam untuk mempelajari Fiqih ialah :
1.  untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.
2. untuk mempelajari hukum – hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
3. kaum muslimin harus bertafaqquh Artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum – hukum agama baik dalam bidang aqaid dan akhlak maupun dalam bidang ibadat dan muamalat.
         Bertafaqquh fiddin Artinya memperdalam ilmu pengetahuan dalam bidang hukum – hukum agama. Oleh karena demikian sebagian kaum muslimin harus pergi menuntut ilmu pengetahuan agama Islam guna disampaikan pula kepada saudara – saudaranya.
Pendapat itu sesuai dengan perintah Allah di dalam Al Qur'an dan Hadits-Qur’an, antara lain :
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya :
“Mengapa tidak pergi dari tiap – tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga darinya”. (QS. At-Taubah : 122)
         Oleh karena demikian jelas behwa Tuhan memerintahkan kepada sebagian manusia supaya pergi dari daerahnya untuk menuntut ilmu pengetahuan agama di daerah lain, dan ditugaskan bila dia sudah kembali memberikan peringatan dan ajaran agama Islam kepada kaumnya guna mengertahui dan menjaga batas-batas perintah Tuhan dan larannya-Nya terhadap manusia. Karena itu seharusnyalah sebagian besar umat Islam mempelajari agama Islam secara mendalam. Tuhan akan memberikan rahmat dan keluasan paham di bidang syari’at Islam kepada orang-orang yang dicintanya. Sehubungan dengan itu Nabi Muhammad saw, telah bersabda :
مَنْ يُرِاللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
Artinya :
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah akan diberikan-Nya kabajikan dan keutamaan, niscaya diberikanlan kepadanya keluasan paham dalam agama.” (HR. Bukhori dan Muslim). Pendorong yang lain untuk mempelajari fiqih umat Islam berdasarkan pendapat berbentuk sya’ir yang dikemukakan oleh seorang faqih terkenal di antara mujtahidin, yaitu Muhammad Ibnu Hasan, yang berbunyi :
تََفَقَّهُ فَاِنَّ الْفِقْهَ أَفْضَلُ قَائِدًا #
اِلَى البِرِّ وَالتَّْقوَى وَأَعْدَلُ قَاِصِد
Artinya :
“Bertafaqquhlah kamu, sesugguhnya fiqih itu penuntun utama kepada kebaikan dan taqwa dan seutama-utamanya jalan yang menyampaikan kita kepada yang kita maksud”.
وَكُنْ مُشْتَفِيْدًا كُلََّ يَوْمِ زِيَادَةً #
مِنَ الفِقْهِ وَاشْبَحْ فِى بُحُوْرِ اْلفَوَائِدِ
Artinya :
“Hendaklah kamu tiap-tiap hari menuntut kelabihan dari pelajaran fiqih dan bercimpunglah kamu dalam lautan fiqih yang berfaedah.”
         Fiqih dalam Islam sangat penting fungsinya karena ia menuntun manusia kepada kebaikan dan bertaqwa kepada Allah. Setiap saat manusia itu mencari atau mempelajari ketuamaan fiqih, karena fiqih, menunjukkan kita kepada sunnah Rasul serta memlihara manusia dari bahaya-bahaya dalam kehidupan. Seorang yang mengatahui dan mengamalkan fiqih akan dapat menjaga diri dari kecemasan dan lebih takut dan disegani oleh musuhnya.
         Jelasnya tujuan mempelajari ilmu fiqih adalah merapkan hukum syara’ pada setiap perkataaan dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan-ketentuan fiqih itulah yang dipergunkan untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi dasar fatwa, dan bagi setiap mukallaf akan mengetahui hukum syara’ pada setiap perbuatan atau perkataaan yang mereka lakukan.
         Sedangkan tujuan mempelajari Uhul Fiqh adalah untuk mengatahui hukum-hukum syara’ pada setiap perbuatan atau perkataaan yang mereka lakukan. Sedangkan tujuan mempelajari ushul fiqih adalah untuk mengatahui hukum-hukum syari’at Islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhan (dugaan, perkiraan), dan untuk menghindari taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya) hal ini dapat berlaku, kalau memang benar-benar ushul fiqih ini digunakan menurut mestinya, yaitu mengambil hukum soal-soal cabang kepada soal-soal yang pokok atau dengan mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok. Yang pertama adalah pekerjaan ahli ijtihad (mujahid) dan yang kedua adalah pekerjaan muttabi.
         Dengan adanya faedah tersebut, tertolaklah faham sementara orang yang mengatakan, bahwa usul fiqih, adalah pekerjaan orang-orang yang terdahulu saja dalam mencari ketentuan sesuatu hukum, dan bagi kita sekarang hanya mengikuti apa yan telah didapati mereka. Pendapat ini tidak benar, sebab taklid adalah pekerjaan yang harus kita hindari. Setidak-tidaknya kita harus bisa mencapai derajat ittaba’, yaitu mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui alasan-alasannya.


Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
1.    Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
2.    Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
3.    Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
4.    Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
5.    Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya
6.    Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya
7.    Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
8.    Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah
9.    Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan. Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.
Dengan Usul Fiqh :
-       Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
-       Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
-       Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
-       Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
Sign Up

BAB II

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqih


A.       Pertumbuhan Ushul Fiqih
Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.

1.        Masa Nabi SAW
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
ٍأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
          Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.


2.        Masa Sahabat
                   Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit. Para sahabat menggunakan “al-Ra’yu” dalam melakukan ijtihad.
Istilah “al-Ra’yu” dalam pandangan sahabat –seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.

3.    Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, penggalian hukum Islam semakin meluas, oleh sebab berbagai permasalahan baru muncul ke permukaan. Hal ini tidak terlepas dari imbas meluasnya daerah kekuasaan Islam, lalu para ulama tersebar ke pelosok-pelosok negeri dan mereka banyak melakukan ijtihad. Selain itu juga disebabkan orang-orang non-Arab yang banyak yang memeluk Islam.
Pada periode ini terdapat pengembangan dari metode yang telah digunakan para sahabat. Tokoh-tokoh dan Pembesar tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan fatwa antara lain: Said bin Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di kawasan Irak. Sebagai dasar pijakan di dalam proses berijtihad dan memberikan fatwa, mereka mengembangkan dan menambah dari berbagai metode yang pernah dirintis oleh sahabat, seperti Qawl Sohabi (fatwa sahabat). Namun demikian ilmu Ushul Fiqih pada periode ini juga masih belum terbukukan.

4.    Masa Tabi’ Tabi’in (Periode Imam Madzhab)
Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah. Demikian pula imam-imam yang lain.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam, sehingga ia memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqih ahli Madinah dan fiqih ahli Irak.
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih.

5.    Masa Pasca Imam Syafi’i
Sesudah masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan berbagai corak dan ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa (al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H), Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul Fiqih (wahbah Zuhaili) dll.
Namun demikian, aliran Ushul Fiqih dapat diklasifikasikan kedalam dua corak, pertama, Ushul Fiqih Ahli Sunnah wal Jama’ah dan Ushul Fiqih Syi’ah. Ushul Fiqih Ahli Sunnah bercorak Hanafiah dan Jumhur Ulama. Hal yang melatarbelakangi beragam corak ilmu ini antara lain adalah perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah-kaidah dari hasil pemahaman terhadap teks sumber agama, al-Quran dan Hadis.
B.       Aliran-Aliran Dalam Ilmu Ushul Fiqh
Perbedaan pendapat yang sering terjadi diantara para ulama dalam hal penetapan istilah untuk suatu pengertian penting.  Dalam membahas Ilmu Ushul Fiqh, para ulama tidak selalu sepakat dalam menetapkan istilah-istilah untuk suatu pengertian dan dalam menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam pembahasannya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran Mutakallimin dan Aliran Hanafiyah.

1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik naqliy (dengan nash) maupun 'aqliy (dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum furu' yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai kaidah dengan hukum-hukum furu' tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari golongan Mu'tazilah, Malikiyah, dan Syafi'iyah.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu :
1.   Kitab Al-Mu'tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu'taziliy asy-Syafi'iy (wafat pada tahun 463 Hijriyah).
2.   Kitab Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma'aliy Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi'iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain ( wafat pada tahun 487 Hijriyah).
3.   Kitab AI Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi ' iy ( wafat pada tahun 505 Hijriyah).
Dari tiga kitab tersebut yang dapat ditemui hanyalah kitab Al Musht.shfa, sedangkan dua kitab lainnya hanya dapat dijumpai nukilan-nukilannya dalam kitab yang disusun oleh para ulama berikut, seperti nukilan kitab dari Al Burhan oleh A1 Asnawiy dalam kitab Syahrul Minhaj .
Kitab-kitab yang datang berikutnya yakni kitab Al Mahshul disusun oleh Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar Raziy Asy Syafi'iy (wafat pada tahun 606 Hijriyah). Kitab ini merupakan ringkasan dari tiga kitab yang disebutkan di atas.  Kemudian kitab AI Mahshul ini diringkas lagi oleh dua orang yaitu :
1.   Tajjuddin Muhammad bin Hasan Al Armawiy (wafat pada tahun 656 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Al Hashil.
2.   Mahmud bin Abu Bakar A1 Armawiy (wafat pada tahun 672 Hijriyah) dalam kitabnya yang berjudul At Tahshil.
Kemudian A1 Qadliy Abdullah bin Umar Al Badlawiy (wafat pada tahun 675 Hijriyah) menyusun kitab Minhajul Wu.shul ila 'Ilmil Ushul yang isinya disarikan dari kitab At Tahshil. Akan tetapi karena terlalu ringkasnya isi kitab tersebut, maka sulit untuk dapat dipahami. Hal inj mendorong para ulama berikutnya untuk menjelaskannya. Di antara mereka yaitu Abdur Rahim bin Hasan AJ Asnawiy Asy Syafi'iy (wafat pada tahun 772 Hjjriyah) dengan menyusun sebuah kitab yang menjelaskan isi kitab MinhajuI WushuI ila 'Ilmil Ushul tersebut.
          Selain kitab Al Mashul yang merupakan ringkasan dari kitab-kitab Al Mu tamad, Al Burhan dan Al Mushtashfa, masih ada kitab yang juga merupakan ringkasan dari tiga kitab tersebut, yaitu kitab AI Ihkam fi Ushulil Ahkam, disusun oleh AbduI Hasan Aliy yang terkenal dengan nama Saifuddin Al Amidiy Asy Syafi'iy (wafat pada tahun 631 Hijriyah). Kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam ini kemudian diringkas oleh Abu Amr Utsman bin Umar yang terkenal dengan nama Ibnul Hajib AI Malikiy (wafat pada tahun 646 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Muntahal Su 'li wal Amal fi .Ilmil Ushul wal Jidal. Kemudian kitab itu beliau ringkas lagi dalam sebuah kitab, dengan nama Mukhtasharul Muntaha. Kitab ini mirip dengan kitab Minhajul Wulshul ila I.lmil Ushul, sulit difahami karena ringkasnya. Hal ini mengundang minat para ulama berikutnya untuk menjelaskannya. Di antara mereka ialah ' AdldIuddin 'Abdur Rahman bin Ahmad Al Ajjiy (wafat tahun 756 Hijriyah) dengan menyusun sebuah kitab yang menjelaskan kitab Mukhtasharul Muntaha tersebut.

2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu' yang diterima dari imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu ' yang diterima dari imam-imam mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu' yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu' tersebut. Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum furu' yang diterima dari imam-imam mereka.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu : kitab yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin' Aliy yang terkenal dengan sebutan Al Jashshash (wafat pada tahun 380 Hijriyah), kitab yang disusun oleh Abu Zaid ' Ubaidillah bin 'Umar Al Qadliy Ad Dabusiy (wafat pada tahun 430 Hijriyah), kitab yang disusun oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As Sarkhasiy (wafat pada tahun 483 Hijriyah). Kitab yang disebut terakhir ini diberi penjelasan oleh Alauddin Abdul 'Aziz bin Ahmad Al Bukhariy (wafat pada tahun 730 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Kasyful Asrar .Dan juga kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini ialah kitab yang disusun oleh Hafidhuddin 'Abdullah bin Ahmad An Nasafiy (wafat pada tahun 790 Hijriyah) yang berjudul 'Al Manar, dan syarahnya yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.
Dalam abad itu muncul para ulama yang dalam pembahasannya memadukan antara dua aliran tersebut di atas, yakni dalam menetapkan kaidah, memperhatikan alasan-alasannya yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya dengan hukum-hukum furu'. Di antara mereka itu ialah : Mudhafaruddin Ahmad bin 'Aliy As Sya'atiy Al Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan menulis kitab Badi'un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy; dan Syadrusiy Syari'ah 'Ubaidillah bin Mas'ud Al Bukhariy Al Hanafiy (wafat pada tahun 747 Hijriyah) menyusun kitab Tanqihul Ushul yang kemudian diberikan penjelasan-penjelasan dalam kitabnya yang berjudul At Taudlih . Kitab tersebut merupakan ringkasan kitab yang disusun oleh A1 Bazdawiy, kitab AI Mahshul oleh Ar Raziy dan kitab Mukhtasharul Muntaha oleh Ibnul Hajib. Demikian pula termasuk ulama yang memadukan dua aliran tersebut di atas, yaitu Tajuddin 'Abdul Wahhab bin' Aliy As Subkiy Asy Syafi'iy (wafat pada tahun 771 Hijriyah) dengan menyusun kitab Jam'ul Jawami' dan Kamaluddin Muhammad 'Abdul Wahid yang terkenal dengan Ibnul Humam (wafat pada tahun 861 Hijriyah) dengan menyusun kitab yang diberi nama At Tahrir.
Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibiy ( wafat pada tahun 760 Hijriyah) telah menyusun sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama A1 Muwafaqat. Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahas tujuan syara' dalam menetapkan hukum.
Kemudian perlu pula diketahui kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh yang disusun oleh para ulama pada masa belakangan ini, antara lain: kitab Irsyadul Fuhul i/a Tahqiqi/ Haq min 'I/mil Ushu/ oleh Imam Muhammad bin' A1iy Asy Syaukaniy (wafat pada tahun 1255 Hijriyah), kitab Tashilu/ Wushu/ i/a 'Ilmi/ Ushu/ oleh Syaikh Muhammad 'Abdur Rahman A1 Mihlawiy (wafat pada tahun 1920 Hijriyah); kitab Ushu/u/ Fiqh oleh Syaikh Muhammad A1 Khudlariy Bak (wafat pada tahun 1345 Hijriyah/ 1927 Masehi) dan kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh yang lain.






BAB IV
MAHKUM ‘ALAIHI DAN MAHKUM FIHI


A. Mahkum ‘Alahi
Mukallaf (manusia baligh) yang menjadi obyek tuntutan syara.
1.Mukallaf yang di tuntut melaksanakan hukum syara’ mampu memahami dalil taklifi, baik dalil yang bersumber dari Al-Quran maupun sunah atau melalui orang lain.
2.Kemampuan memahami dalail yang erat hubungannya dengan perkembangan akal.

B.Mahkum Fihi
Perbuatan mukalaf yang menjadi obyek hukum syara.
1.Hukum itu telah di ketahui dengan jelas oleh mukalaf sehingga dapat di laksanakan sesuai dengan yang di kehendaki syara.
2.Mukallaf harus mengetahui bahwa kewajiban yang di bebankan kepadanya adalah dari yang memang berhak memberikan klewajiban ialah Allah .
3.K ewajiban yang di bebankan kepada mukallaf baik yang dituntut atau tidak melaksanakan sesuatu perbuatan, memang betul-betul dapat di laksanakan oleh mukallaf
4. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779], supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan[780] siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
[779] Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah berarti bahwa Al Qu'an untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia.
[780] Disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.




BAB V
PENUTUP

A.           KESIMPULAN
Dalam mencicipi pendidikan di universitas tentunya berbagai persoalan yang terjadi seakan sudah menjadi tanggung jawab kita, termasuk persoalan hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan rasul-Nya. Jadi, ilmu fiqih ialah suatu ilmu yang mempelajari syariat yang bersifat amaliah (perbuatan) yang diperoleh dari dalil-dalil hukum yang terinci dari ilmu tersebut. Ahli fiqh disebut Faqh, jamaknya Fuqaha.
Ushul fiqh adalah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang mengatur manusia, yaitu yang bersumber dari :
1.Al-Qur’an
2.Sunnah Nabi saw
3.Ra’yu atau akal
Secara garis besar ajaran tentang hukum islam ada 5 yang kemudian dikenal dengan ahkamul Khamsah (hukum yang lima). Hukum dalam bahasa arab adalah norma atau kaidah, atau rangkaian garis-garis kaidah yang menentukan hak dan kewajiban manusia dalm masyarakat. Maka setiap manusia yang sidup dalam masyarakay harus senantiasa mentaati hukum yang berlaku, karena islam tidak hanya menggurus masalah hubungan vertikal dengan Allah tetapi juga hubungan horizontal dengan makhluk Allah yang lainnya.

B.           SARAN
Diharapkan kepada seluruh mahasiswa pada umumnya. Dan pada mahasiswa/i semester satu pada khususnya. Agar lebih belajar dengan giat terkait dengan Sumber Hukum Islam yang harus kita implementasikan dalam kehidupan sehari- hari karena agar kita lebih mendalami dan menjadi manusia sami’na wa ata’na buka sami’na wa asaina.


Komentar Anda Disini !

Copyright © 2010 - Abdyanews
Designed By Xplory Design