BAB I
A. Latar belakang masalah
Dalam sejarah kebudayaan ummat manusia
proses tukar-menukar dan interaksi (intermingling) atau pinjam meminjam konsep
antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain memang senantiasa terjadi,
seperti yang terjadi antara kebudayaan Barat dan peradaban Islam. Dalam proses
ini selalu terdapat sikap resistensi dan akseptansi. Namun dalam kondisi dimana
suatu kebudayaan itu lebih kuat dibanding yang lain yang tejadi adalah dominasi
yang kuat terhadap yang lemah. Istilah Ibn Khaldun, "masyarakat yang
ditaklukkan, cenderung meniru budaya penakluknya".
Ketika peradaban Islam menjadi sangat kuat
dan dominan pada abad pertengahan, masyarakat Eropa cenderung meniru atau
"berkiblat ke Islam". Kini ketika giliran kebudayaan Barat yang kuat
dan dominan maka proses peniruan itu juga terjadi. Terbukti sejak kebangkitan
Barat dan lemahnya kekuasaan politik Islam, para ilmuwan Muslim belajar
berbagai disiplin ilmu termasuk Islam ke Barat dalam rangka meminjam. Hanya
saja karena peradaban Islam dalam kondisi terhegemoni maka kemampuan menfilter
konsep-konsep dalam pemikiran dan kebudayaan Barat juga lemah.
B. Perumusan masalah
Adapun masalah yang akan dibahas adalah
seputar pengertian peradaban islamdan juga peradaban islam sebagai ilmu
pengetahuan dan dasar-dasar peradaban islam serta sedikit menyinggung tentang
perekembangan perdaban islam
C. Pembatasan Masalah
Adapun didalam pembahasan yang akan
didiskusikan tidak keluar dan menyimpang dari semua yang ada tertulis didalam
makalah ini yang ruang lingkupnya hanya seputar pengantar peradaban islam.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Peradaban
Kata Peradaban seringkali diberi arti yang
sama dengan kebudayaan. Tetapi dalam B. Inggris terdapat perbedaan pengertian
antara kedua istilah tersebut. Istilah Civilization untuk peradaban dan Culture
untuk kebudayaan. Demikian pula dalam B. Arab dibedakan antara kata Tsaqafah
(kebudayaan), kata Hadharah (kemajuan), dan Tamaddun (peradaban)
Menurut A.A. Fyzee, peradaban (civilization) dapat diartikan dalam
hubungannya dengan kewarganegaraan karena berasal dari kata civies (Latin) atau
civil (Inggris) yang berarti seorang warganegara yang berkemajuan. Dalam hal
ini peradaban diartikan dalam dua cara:
(1) proses menjadi berkeadaban, dan
(2) suatu masyarakat manusia yang sudah
berkembang atau maju.
Suatu peradaban ditunjukkan dalam gejala-gejala lahir, mis. Memiliki
kota-kota besar, masyarakat telah memiliki keahlian di dalam industri
(pertanian, pertambangan, pembangunan, pengangkutan dsb), memiliki tertib
politik dan kekuasaan, dan terdidik dalam kesenian yang indah-indah.
Adapun kebudayaan diartikan bersifat sosiologis di satu sisi dan
antropologis di sisi lain. Istilah kebudayan (culture) pada dasarnya diartikan
sebagai cara mengerjakan tanah, memelihara tumbuh2an, diartikan pula melatih
jiwa dan raga manusia. Dalam latihan ini memerlukan proses dan mengembangkan
cipta, karsa, dan rasa manusia. Maka culture adalah civilization dalam arti
perkembangan jiwa.
Peradaban Islam memiliki tiga pengertian yang berbeda. Pertama, kemajuan
dan tingkat kecerdasan akal yang dihasilkan dalam suatu periode kekuasaan Islam
mulai dari periode Nabi Muhammad Saw. sampai perkembangan kekuasaan sekarang;
kedua, hasil-hasil yang dicapai oleh umat Islam dalam lapangan kesusasteraan,
ilmu pengetahuan dan kesenian; ketiga, kemajuan politik atau kekuasaan Islam
yang berperan melindungi pandangan hidup Islam terutama dalam hubungannya
dengan ibadah-ibadah, penggunaan bahasa, dan kebiasaan hidup kemasyarakatan.
B. Meraih Kejayaan Islam dengan Iptek
Berdasarkan penjelasan Ibnu Khaldun tentang kebangkitan suatu peradaban,
jika umat Islam ingin membangun kembali peradabannya, mereka harus menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi¹. Tanpa ini, kebangkitan Islam
hanya akan menjadi utopia belaka.
Menurut Ibnu Khaldun, wujud
suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu,
kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi,
kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan
kesanggupan berjuang untuk hidup. Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas
suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu
telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan
manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya.
Suatu peradaban hanya akan wujud
jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu
meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu
pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur
dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana
penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran
adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup.
Maka dari itu, pembangunan kembali peradaban Islam harus dimulai dari
pembangunan ilmu pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan
ekonomi dari pada ilmu, dan hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan
berperan meningkatkan taraf kehidupan. Namun, sejatinya faktor materi dan
ekonomi menentukan setting kehidupan manusia, sedangkan yang mengarahkan
seseorang untuk memberi respon seseorang terhadap situasi yang sedang
dihadapinya adalah faktor ilmu pengetahuan. Dari sini, kita melihat peran vital
pendidikan sebagai jalan kebangkitan peradaban Islam.
1. science And Civilization in islam, pengarang : seyyed
Hossein nasr. penerbit : Barnes & Noble Books, New york : hal : 97- 98
Lebih penting dari ilmu dan pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan
masyarakat, adalah intelektual. Ia berfungsi sebagai individu yang bertanggung
jawab terhadap ide dan pemikiran tersebut. Bahkan perubahan di masyarakat
ditentukan oleh ide dan pemikiran para intelektual. Ini bukan sekedar teori
tapi telah merupakan fakta yang
terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di Barat ide-ide para
pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam
Smith dan sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah
pemikiran masyarakat.
Demikian pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti
Imam Syafii, Hanbali, Imam al-Ghazzali, Ibn Khaldun, dan lain sebagainya
mempengaruhi cara berfikir masyarakat dan bahkan kehidupan mereka. Jadi
membangun peradaban Islam harus dimulai dengan membangun pemikiran umat Islam,
meskipun tidak berarti kita berhenti membangun bidang-bidang lain. Artinya,
pembangunan ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan prioritas bagi seluruh
gerakan Islam.
Guna memuluskan jalan menuju kebangkitan peradaban Islam ini, umat Islam
harus giat belajar, mengkaji, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Demi kemajuan
para pemimpin dan umat Islam berada di atas nilai-nilai Islami. Sehingga umat
Islam akan menjadi khairu ummah sebagaimana yang disinyalir QS Ali Imran [3]:
110.
C. Dasar-dasar Peradaban Islam
Analisis Historis Dan Konstektual Dalam Kajian Literatur Islam Klasik;
Adalah kesepakatan keimanan seluruh kaum muslimin bahwa Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw adalah agama yang dihadirkan untuk menjadi petunjuk hidup
bagi seluruh umat manusia. Pandangan ini didasarkan pada teks al Qur-an : Dan
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia
sebagai pembawa berita gembir Dan sebagai pemberi peringatan tetapi kebanyakan
manusia tidakmengetahui”. Dalam teks lain dikemukakan bahwa visi atau tujuan
akhir yang dibawa oleh agama ini adalah kerahmatan (kasih sayang). Dan ini
bukan hanya bagi manusia tetapi juga bagi alam semesta. Ia adalah agama yang
merahmati alam semesta.(Q.S. al Anbiya,21: 107). Berdasarkan teks al Qur-an
tersebut, maka seluruh manusia merupakan ciptaan Tuhan Dan semuanya meski
memiliki latarbelakang kultural, etnis, warna kulit, kebangsaan, Dan jenis
kelaim, menempati posisi yang sama di hadapan-Nya.
Hal ini dinyatakan secara eksplisit Dalam al Qur-an :;Wahai manusia, Kami
ciptakan kamu sekalian terdiri dari laki-laki Dan perempuan Dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa Dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling unggul di antara kamu adalah yang paling bertaqwa (kepada Allah;.(Q.S.
Al Hujurat, 13). Ini sungguh merupakan pernyataan paling tegas mengenal
universalitas Islam Totalitas Islam pada sisi lain muncul Dalam konsep “Trilogi
Islam”. Trilogi ini merupakan ajaran yang mewadahi dimensi-dimensi manusia.
Pertama, dimensi keimanan. Dimensi ini berpusat pada keyakinan personal manusia
terhadap;Kemahaesaan Tuhan;, pada;al Nubuwwat; (kenabian dan kitab-kitab suci) Dan;al Ghaibiyyat”
(metafisika). Dimensi ini biasanya juga dikenal dengan istilah “aqidah”. Kedua
adalah dimensi aktualisasi keyakinan tersebut yang bersifat eksoterik (hal-hal
yang dapat dilihat, yang lahiriyah). Dimensi ini berisi aturan-aturan
bertingkahlaku baik tingkah laku personal dengan Tuhannya, tingkah laku
interpersonal yakni antar suami-isteri Dan bertingkahlaku antar personal.
Dimensi ini biasanya disebut “syari’ah”. Ketiga aturan ini kemudian dirumuskan
oleh para ulama Islam sebagai : aturan ibadah, aturan hukum keluarga (al ahwal
al syakhshiyyah), Dan aturan mu’amalat atau pergaulan antar manusia Dalam ruang
publik dengan segala persoalannya. Dimensi ketiga adalah aturan-aturan yang
mengarahkan gerak hati (dimensi esoterik) yang diharapkan akan teraktualisasi Dalam
sikap- sikap moral luhur atau al Akhlaq al Karimah. Ini biasanya disebut juga
dimensi “tasawuf/akhlaq”.Seluruh dimensi ajaran Islam tersebut diambil dari
sumber-sumber otoritatif Islam yakni al Qur-an Dan Hadits Nabi. Kedua sumber
utama Islam ini mengandung prinsip-prinsip, dasar-dasar normatif, hikmah-hikmah
Dan petunjuk-petunjuk yang diperlukan bagi hidup Dan kehidupan manusia. Al
Qur-an menyatakan : “Kami tidak melupakan sesuatupun di Dalam al Kitab”. Q.S.Al
An’am,6:38). Dari sini para ulama
kemudian mengeksplorasi Dan mengembangkan kandungannya untuk menjawab kebutuhan
manusia Dalam ruang Dan waktu yang berbeda-beda Dan berubah-ubah.
Ekplorasi Dan pengembangan tersebut dilakukan
melalui alat Analisis yang bernama Ijtihad, Istinbat atau Ilhaq al Masail bi
Nazha-iriha atau sebutan lain yang identik dengan aktifitas intelektual.
Alat-alat Analisis inilah yang kemudian melahirkan khazanah intelektual Islam
yang maha kaya Dalam beragam disiplin ilmu pengetahuan Dan teknologi. Inilah
yang kemudian menciptakan peradaban Islam yang gemilang. Aktifitas intelektual
kaum muslim paling produktif Dalam sejarah Islam lahir pada tiga abad pertama
Islam.Menelusuri aktifitas intelektual kaum muslimin pada tiga abad pertama
Islam kita menemukan bahwa para sarjana Klasik Islam Klasik ternyata tidak
melakukan dikotomisasi antara ilmu pengetahuan Agama Dan pengetahuan umum
(sekuler). Mereka meyakini bahwa beragam jenis ilmu pengetahuan adalah ilmu
Allah yang mahakaya. Bahkan pergulatan intelektual mereka dilakukan dengan mengadopsi
secara selektif produk-produk ilmu pengetahuan Helenistik Dan Persia terutama
Dalam bidang filsafat Dan fisika.Aspek Hukum Islam Pada tataranpengetahuan
keagamaan, bidang paling hidup Dan produktif adalah bidang hukum. Ini memang
wajar karena tingkahlaku manusia senantiasa bergerak Dan ruang Dan waktu yang
semakin meluas Dan cepat disamping ini paling mudah dipahami banyak orang. Maka
sampai abad ke IV H, peradaban Islam telah menghasilan ratusan para ahli hukum
Islam terkemuka (mujtahidin) selain empat Imam mujtahid; Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Muhammad bin Idris al Syafi’i Dan Ahmad bin Hanbal. Mereka bekerja keras
untuk mengeksploitasi Dan mengembangkan hukum Islam bagi keperluan masyarakat
yang senantiasa berkembang. Masing-masing dengan metodanya Dan kecenderungannya
sendiri-sendiri. Produk-produk hukum mereka yang dikemudian hari dikenal dengan
sebutan “fiqh”, senantiasa memiliki relevansi dengan konteks sosio-kulturalnya
masing-masing. Jika kita harus memetakan pola fiqh ke empat mazhab paling
terkenal di atas, maka dapat kita kemukakan : Mazhab Hanafi adalah mazhab ahl
al Ra’y (rasionalis), mazhab Maliki; mazhab “muhafizhin” (menjaga tradisi),
Syafi’i mazhab al Tawassuth, Dan Hanbali ; mazhab “mutasyaddidin”. Pembagian
pola atau katagorisasi ini tentu saja tidak bersifat absolut, melainkan sebagai
kecenderungan utama atau umum. Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa mereka
Dan para pengikutnya yang awal senantiasa saling menghargai pendapat lainnya.
Satu pernyataan yang sering dikemukakan mereka adalah “Ra’yuna Shawab Yahtamil
al Khatha’ wa Ra’yu Ghairina Khatha Yahtamil al Shawab” (pendapat kami benar
tetapi boleh jadi keliru, Dan pendapat selain kami keliru tetapi mungkin saja
benar).Sikap menghargai pandangan orang lain yang berbeda ditunjukkan oleh Imam
Malik bin Anas melalui penolakannya terhadap Khalifah dinasti Abbasiyah, Abu
Ja;far al Manshur yang menghendaki kitab;Al Muwattha; sebagai rujukan hukum
bagi seluruh masyarakat muslim. Kepada Khalifah beliau mengatakan :;anda tahu
bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang berbagai tradisi hukum
sesuai dengan kemaslahatan setempat. Biarkan masyarakat memilih sendiri
panutannya. Maka saya kira tidak ada alasan untuk menyeragamkannya. Sebab tidak
ada seorangpun yang berhak mengklaim kebenaran atas nama Tuhan sekalipun”.(Inna
likulli qawmin Salafan wa Aimmah).(Baca : Subhi Mahmasani, Falsafah al Tasyri;
fi al Islam, 89). Upaya-upaya ke arah pengembangan hukum Islam sesudah abad IV
H, memang kemudian mengalami proses stagnasi atau tidak berjalan secara
progresif. Kecenderungan umum keberagaman umat Islam adalah mengikuti apa yang
sudah ada, yang sudah jadi, produk para ulama sebelumnya. Pemikiran mereka
direproduksi Dalam beragam pola ; syarh, hasyiyah, matan Dan nazhm. Kebutuhan
Menghidupkan Teks Dewasa ini sangat disadari bahwa produk- produk Islam tidak
lagi cukup memadai untuk menjawab berbagai problem baru produk modernitas.
Karena itu upaya- upaya menghidupkan teks-teks fiqh, sudah menjadi kebutuhan
yang sangat mendesak dilakukan oleh umat Islam.
Beberapa hal yang bisa dijadikan dasar
kontekstualisasi adalah :Mengkaji substansi, kausalita; hukum yang terdapat
Dalam teks. Cara ini sejalan dengan kaedah fiqh :
- Mengkaji sosio-kultural Dan Politik yang
melatarbelakangi teks-teks fiqh Klasik.²
- Menjadikan realitas sosial baru sebagai bahan
Analisis bagi kemungkinan dilakukannya perubahan hukum. Ini sejalan
- dengan kaedah “Taghayyur al
Ahkam bi Taghayyur al Ahwal wa al Azminah wa al Amkinah”(hukum bisa
- berubah karena perubahan keadaan, zaman Dan
tempat).
- Perubahan hukum tersebut harus selalu mengacu pada
empat hal : Keadilan, Kemaslahatan, Ke Kerahmatan Dan Kebijaksanaan.
2. Abu
Ishaq al Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Maktabah Tijariyah Kubra,
Kairo, , hlm. 347-351
D.Priodesasi perkembangan peradaban islam
Sejak awal, Rasulullah SAW tidak pernah mengajar sistem feodal atau
monarki. Maka, pemilihan khalifah (pada masa khulafaur rasyidin) dilakukan
dengan tiga model pemilihan: aklamasi; penunjukan; atau (ketiga) melalui tim
formatur (dewan syura).
Sementara di bidang ekonomi, Nabi SAW mewariskan prinsip: mengakui hak
individu berikut penggunaannya; kepemilikan pribadi itu harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT; dan (prinsip ketiga) harta tersebut
harus disalurkan kepada fakir miskin atau yang lebih membutuhkan. Sedang sistem
sosial Islam merangkul semua lapisan masyarakat; mempertalikan si kaya dengan
si miskin, dan raja dengan rakyat. Tidak ada kasta-kasta dalam Islam.
Islam menyajikan sistem tolong menolong antarumat dalam lapangan politik,
perekonomian, kehidupan sosial, bahkan sistem perdamaian. Islamlah yang
mencetuskan sistem perjanjian, konsulat, suaka politik, dan dakwah. Kerja sama
dan kontak ekonomi dibolehkan dengan pihak lain, seperti Yahudi, Persia dan
Romawi.
Semasa Dinasti Umayyah (Amawiyah) berkuasa (661-770M), banyak institusi
politik dibentuk, misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga
sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat khusus di bidang
politik.
Dalam tatanan ekonomi dan keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan impor,
badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan, dan badan pertanahan negara.
Sedang dalam tatanan teknologi, dinasti ini telah mampu menciptakan
senjata-senjata perang yang canggih pada masanya, sarana transportasi darat
maupun laut, sistem pertanian maupun pengairan ³
Wilayah kekuasaan Umayyah berkembang di sebelah
Timur sampai ke Oxus, bagian barat India sampai Punjab dan Lahore. Di Utara,
dikuasainya Pulau Rhodes, Cretta, sampai Konstantinopel. Sementara di Barat,
dinasti ini menguasai seluruh Afrika Utara, Aljazair, Tangiers dan Spanyol.
3. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam Penerbit:
Rajawali Pers Penulis: Ajid Thohir hal 37
Ketika Bani Umayyah digantikan Bani Abbasiyah (750-1258M), ilmu pengetahuan
dan teknologi berkembang lebih pesat. Gerakan keilmuan lebih bersifat spesifik.
Di bidang astronomi, astronom pertama Muslim Muhammad ibnu Ibrahim Al-Farazi
(777M) membuat astrolobe atau alat ukur ketinggian bintang. Lalu ada Ali ibn
Rabban Al-Tabari (850M) sebagai dokter pertama yang mengarang buku Firdaus Al
Hikmah. Tokoh kedokteran lainnya adalah Ibnu Sina, Al Razi dan Al Farabi.
Sementara di bidang kimia, muncul Jabir ibn Hayyan sebagai Bapak Ilmu Kimia
Islam. Kimiawan Muslim lainnya ketika itu adalah Al Razi dan Al Tuqrai (abad
ke-12M). Muncul pula sejarawan seperti Ahmad al-Yakubi dan Abu Jafar Muhammad
bin Jafar bin Jarir Al-Tabari. Sedang ahli ilmu bumi termasyhur Ibnu
Khurdazabah (820-913M).
Khusus di bidang hadits, dilakukan penyempurnaan, pembukuan dan pencatatan
dari hafalan para sahabat. Mulailah dilakukan pengklasifikasian secara
sistematis dan krologis, sehingga muncul apa yang kita kenal sebagai hadits
shahih, dhaif, maudhu.
Bahkan dikemukakan pula kritik sanad dan matan, sehingga terlihat jarah dan
takdil rawi sebuah hadits .
Apa yang disajikan Ajid Thohir dalam bukunya Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam
terbitan Rajawali Pers (PT Raja Grafindo Perkasa) ini membuktikan argumentasi
reformis Islam asal Mesir Muhammad Abduh bahwa sangat tidak benar (persangkaan
Barat selama ini) mengaitkan Islam dengan keterbelakangan, kebodohan dan
kemiskinan. Justru Baratlah yang kemudian mencomot apa-apa yang terbaik dari
peradaban Islam.
Pecahnya kekhalifahan
Umayyah adalah penguasa pertama yang mengubah
sistem pemerintahan Islam, dari yang bersifat demokrasi menjadi monarki absolut
4
4. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam Penerbit:
Rajawali Pers Penulis: Ajid Thohir hal 34
Demikian pula Bani Abbasiyah __meski berdasarkan nilai kebersatuan,
moderat, universal, dan kesamaan hubungan dalam hukum__ merupakan daulat yang
dibangun dengan sistem suksesi turun temurun 5.. Ketika terjadi konflik internal
keluarga dan pada saat mereka kehilangan kendali terhadap daulat-daulat kecil,
maka pecahlah kekuasaan kekhalifahan.
Di wilayah Barat, Andalusia, Dinasti Umayyah bangkit lagi dengan mengangkat
Abdurahman Nasr menjadi khalifah/Amir Al-Mukminin. Di Afrika Utara, Syiah
Amaliah membentuk Dinasti Fatimiah. Sementara di Mesir muncul Muhammad Ikhsyid
sebagai penguasa dari Bani Abbas. Di Baghdad __pusat kekuasaan Abbasiyah__
sendiri, berdiri Bani Buwaihi. Yaman dan Tunisia pun bangkit.
Kekuasaan Umayyah dihancurkan Abbasiyah, karena ketidakadilan dalam
kebijakan land reform serta konflik berkepanjangan dengan kaum Syiah. Sedang Daulat
Abbasiyah dihancurkan pasukan Tartar dari Mongolia, ketika kejayaannya juga
terus merosot dan lemah.
Ajid Thohir secara sistematis menyajikan bagaimana prosesi sejarah
peradaban di kawasan dunia Islam ini berjaya dan jatuh bangun. Juga ia hadirkan
keinginan-keinginan untuk mendirikan negara Islam, seperti yang terjadi di
Indonesia pada masa pemerintahan Ir Soekarno.
5. Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya
Umat Islam Penerbit: Rajawali Pers Penulis: Ajid Thohir hal 44
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Peradaban seringkali diartikan
sama dengan kebudayaan menurut a.a. Fyzee, peradaban (civilization) dapat
diartikan dalam hubungannya dengan kewarganegaraan karena berasal dari kata
civies (latin) atau civil (inggris) yang berarti seorang warganegara yang
berkemajuan
Suatu peradaban hanya akan
wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu
meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja
tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang
tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya
pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu
pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup.
Islam menyajikan sistem tolong
menolong antarumat dalam lapangan politik, perekonomian, kehidupan sosial,
bahkan sistem perdamaian. Islamlah yang mencetuskan sistem perjanjian,
konsulat, suaka politik, dan dakwah. Kerja sama dan kontak ekonomi dibolehkan
dengan pihak lain, seperti Yahudi, Persia dan Romawi.
B. Saran
Diharapkan kepada seluruh mahasiswa pada
umumnya. Dan pada mahasiswa/1 semester empat pada khususnya. Agar lebih belajar
dengan giat tentang sejarah peradaban islam karena agar kita lebih mengenal
bagaimana sebuah peradaban tejadi yang pada makalah ini dititik beratkan pada
peradaban islam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Science And
Civilization in islam, pengarang : seyyed Hossein nasr. penerbit : Barnes &
Noble Books, State University of New York dialih bahasakan oleh DR.
yazid penerbit Press, 1993
2. Abu Ishaq al
Syathibi, dalam bukunya Al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Maktabah Tijariyah
Kubra, Kairo diterjemahlkan oleh. Mukhsin dkk diterbitkan oleh yayasan UIN
Jakarta- mei 2006
3. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam Penerbit:
Rajawali Pers Penulis: Ajid Thohir Cetakan I: September 2004 + 364 halaman