Ketika memberikan pidato politik dalam acara presidential lecture
mengenai "Indonesia Democracy Outlook" yang diselenggarakan Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu
(16/01) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melontarkan kritik
terhadap pelaksanaan kampanye terbuka yang dilakukan partai-partai
politik selama ini.
Menurut Presiden SBY, kampanye terbuka
dengan pengerahan massa dalam jumlah besar harus mulai dikurangi dalam
kampanye pemilu tahun 2014 mendatang.
Kampanye terbuka dengan
pengerahan massa dalam jumlah besar yang seringkali dipenuhi terikan
meminta air dan pertunjukkan musik dangdut dirasakan presiden kurang
memberikan pendiidikan politik. Padahal, pendidikan politik harus
menjadi salah satu aspek penting yang menjadi pertimbangan utama dalam
pelaksanaan kampanye.
Kritik Presiden SBY itu kemudian menuai
kontroversi dan sikap pro kontra di muka publik. Persatuan Artis Musik
Melayu Dangdut Indonesia (PAMMI) dan Soneta Fans Club Indonesia (SFCI)
menuding pernyataan itu sebagai cerminan sikap diskriminasi Presiden SBY
terhadap musik dangdut.
Meskipun demikian, tidak sedikit pula pihak
yang mendukung kritik presiden tersebut. Bahkan, raja dangdut Rhoma
Irama pun memandang kritik Presiden SBY sebagai ajakan untuk
mengedepankan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan kampanye.
Pendidikan politik
Pemilihan
umum memang memberikan ruang dan kesempatan bagi siapa pun yang ingin
berpatisipasi untuk turut ambil bagian. Salah satu variabel penting
dalam pemilu adalah kampanye untuk "menjual" nama partai atau kandidat
yang hendak diusung sebagai pejabat publik. Momen kampanye menjadi
sangat penting karena di saat itulah partai politik dan para kandidat
memiliki kesempatan untuk mendulang dukungan dan suara dari para calon
pemilih.
Terkait hal itu, materi kampanye dari partai-partai
politik selama ini –sebagaimana kritik Presiden SBY dirasakan masih
kurang mendidik, tidak efisien, dan tidak efektif. Tidak jarang materi
kampanye berisi janji-janji politik yang sesungguhnya sangat sulit untuk
direalisasikan. Dalam jangka panjang kampanye seperti ini jelas
berpotensi meningkatkan apatisme publik karena menganggap kampanye hanya
sebagai kumpulan pepesan kosong elite politik semata.
Selain
itu, selama ini kampanye juga lebih cenderung dimaknai dalam arti
sempit, yaitu menjelang pelaksanaan pemilihan umum saja. Padahal, jika
dimaknai secara lebih luas kampanye merupakan suatu proses jangka
panjang yang menuntut konsistensi dan kontinuitas dari partai politik
atau kandidat bersangkutan.
Pemaknaan kampanye dalam arti sempit
atau saat menjelang pemilu saja mengandung beberapa kelemahan. Pertama,
interaksi politik antara partai politik dan publik seolah-olah hanya
terjadi dalam periode tertentu saja.
Kedua, kampanye merupakan
sebuah proses komunikasi politik dialogis antarpartai politik dan publik
dengan tujuan untuk menciptakan kesamaan pemahaman dan persepsi. Jika
kampanye dilakukan hanya sebatas menjelang pelaksanaan pemilihan umum,
maka besar kemungkinan tidak akan terbangun kesamaan pemahaman dan
persepsi anatar kedua pihak tersebut.
Ketiga, publik diartikan
partai politik hanya sebatas pendulang suara menjelang pemilihan umum.
Partai politik menganggap publik penting hanya saat membutuhkan suara
mereka saja. Ketika masa kampanye dan pemilihan umum telah selesai
publik pun ditinggalkan oleh partai politik.
Keempat, jika kampanye
hanya sebatas menjelang pelaksanaan pemilihan umum saja, maka pendidikan
politik yang diperoleh publik tidak akan komprehensif karena mereka
hanya disuguhi hal-hal parsial.
Karena itu, sudah semestinya itu
diminimalisasi oleh partai-partai politik dengan cara mengubah model
kampanye selama ini yang dilakukan hanya menjelang pemilihan umum dan
mengandalkan pengerahan massa dalam jumlah besar. Partai politik, calon
legislatif, dan kandidat pejabat publik lain diharapkan memiliki
kesungguhan untuk memberikan pendidikan politik tersebut saat melakukan
kampanye. Bukan dengan mengumbar janji-jani palsu dan pepesan kosong.
Fathur Anas
Peneliti di Developing Countries Studies Center (DCSC) Jakarta