.

Breaking News

Senin, 04 Februari 2013

Dangdut, Kampanye, dan Pendidikan Politik

Ketika memberikan pidato politik dalam acara presidential lecture mengenai "Indonesia Democracy Outlook" yang diselenggarakan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (16/01) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melontarkan kritik terhadap pelaksanaan kampanye terbuka yang dilakukan partai-partai politik selama ini.


Menurut Presiden SBY, kampanye terbuka dengan pengerahan massa dalam jumlah besar harus mulai dikurangi dalam kampanye pemilu tahun 2014 mendatang.

Kampanye terbuka dengan pengerahan massa dalam jumlah besar yang seringkali dipenuhi terikan meminta air dan pertunjukkan musik dangdut dirasakan presiden kurang memberikan pendiidikan politik. Padahal, pendidikan politik harus menjadi salah satu aspek penting yang menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan kampanye.

Kritik Presiden SBY itu kemudian menuai kontroversi dan sikap pro kontra di muka publik. Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia (PAMMI) dan Soneta Fans Club Indonesia (SFCI) menuding pernyataan itu sebagai cerminan sikap diskriminasi Presiden SBY terhadap musik dangdut.
Meskipun demikian, tidak sedikit pula pihak yang mendukung kritik presiden tersebut. Bahkan, raja dangdut Rhoma Irama pun memandang kritik Presiden SBY sebagai ajakan untuk mengedepankan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan kampanye.

Pendidikan politik

Pemilihan umum memang memberikan ruang dan kesempatan bagi siapa pun yang ingin berpatisipasi untuk turut ambil bagian. Salah satu variabel penting dalam pemilu adalah kampanye untuk "menjual" nama partai atau kandidat yang hendak diusung sebagai pejabat publik. Momen kampanye menjadi sangat penting karena di saat itulah partai politik dan para kandidat memiliki kesempatan untuk mendulang dukungan dan suara dari para calon pemilih.

Terkait hal itu, materi kampanye dari partai-partai politik selama ini –sebagaimana kritik Presiden SBY dirasakan masih kurang mendidik, tidak efisien, dan tidak efektif. Tidak jarang materi kampanye berisi janji-janji politik yang sesungguhnya sangat sulit untuk direalisasikan. Dalam jangka panjang kampanye seperti ini jelas  berpotensi meningkatkan apatisme publik karena menganggap kampanye hanya sebagai kumpulan pepesan kosong elite politik semata.

Selain itu, selama ini kampanye juga lebih cenderung dimaknai dalam arti sempit, yaitu menjelang pelaksanaan pemilihan umum saja. Padahal, jika dimaknai secara lebih luas kampanye merupakan suatu proses jangka panjang yang menuntut konsistensi dan kontinuitas dari partai politik atau kandidat bersangkutan.

Pemaknaan kampanye dalam arti sempit atau saat menjelang pemilu saja mengandung beberapa kelemahan. Pertama, interaksi politik antara partai politik dan publik seolah-olah hanya terjadi dalam periode tertentu saja.

Kedua, kampanye merupakan sebuah proses komunikasi politik dialogis antarpartai politik dan publik dengan tujuan untuk menciptakan kesamaan pemahaman dan persepsi. Jika kampanye dilakukan hanya sebatas menjelang pelaksanaan pemilihan umum, maka besar kemungkinan tidak akan terbangun kesamaan pemahaman dan persepsi anatar kedua pihak tersebut.

Ketiga, publik diartikan partai politik hanya sebatas pendulang suara menjelang pemilihan umum. Partai politik menganggap publik penting hanya saat membutuhkan suara mereka saja. Ketika masa kampanye dan pemilihan umum telah selesai publik pun ditinggalkan oleh partai politik.
Keempat, jika kampanye hanya sebatas menjelang pelaksanaan pemilihan umum saja, maka pendidikan politik yang diperoleh publik tidak akan komprehensif karena mereka hanya disuguhi hal-hal parsial.

Karena itu, sudah semestinya itu diminimalisasi oleh partai-partai politik dengan cara mengubah model kampanye selama ini yang dilakukan hanya menjelang pemilihan umum dan mengandalkan pengerahan massa dalam jumlah besar. Partai politik, calon legislatif, dan kandidat pejabat publik lain diharapkan memiliki kesungguhan untuk memberikan pendidikan politik tersebut saat melakukan kampanye. Bukan dengan mengumbar janji-jani palsu dan pepesan kosong.

Fathur Anas
Peneliti di Developing Countries Studies Center (DCSC) Jakarta

Komentar Anda Disini !

Copyright © 2010 - Abdyanews
Designed By Xplory Design